Lestari sedang asyik menginput data, ketika matanya menangkap sesosok pria setengah baya melintas di depannya. Pria itu lalu duduk tidak jauh dari meja kerjanya.Untuk aktivitas sehari-hari, Lestari memilih bekerja di ruangan semi aula ini. Meski disediakan meja kerja di kantor, ia memilih bekerja di tempat yang kerap dipakai untuk pertemuan. Balai pertemuan ini sering dimasuki oleh kaum bapak yang setiap sore mengobrol berbagai hal. Mereka begitu bersemangat kalau sudah berbincang-bincang. Apalagi kalau bukan tentang masa lalu mereka masing-masing, terutama soal pekerjaan.
Dalam diri para bapak itu Lestari melihat sosok pamannya. Om Pit adalah orang yang suka sekali mengobrol. Setiap hari ia akan didatangi para tetangga, yang juga para bapak.
Eh, kenapa bapak di depanku ini tampak sedih ya? Oh, kalau tidak salah namanya Pak Diman. Pensiunan guru 10 tahun yang lalu. Pak Diman dikirim oleh anak perempuannya ke Asrama ini 7 tahun silam. Lestari tahu itu karena semua riwayat penghuni asrama tertera dalam berkas.
"Sendirian saja, Pak Diman?" Lesari mencoba menyapa. Hari masih pukul 10 pagi, udara cerah di luar. Tapi mengapa Pak Diman tampak sedih? Apakah tidak dikirimi uang oleh anaknya? Sepengetahuannya, seluruh uang pensiun Pak Diman dibayar untuk biaya bulanan di asrama ini. Lagi-lagi Lestari tahu soal ini dari berkas.
"Hmm, iya mbak."
"Bapak kelihatannya sedih. Ada apa Pak?"
Pak Diman menoleh ke arah perempuan di depannya. "Saya besok mau ke Jakarta. Emm ... maksud saya, Tangerang. Menengok menantu saya. Ia kecelakaan motor."
"Oohhh, saya turut sedih Pak."
"Terimakasih."
" ......."
"Hmmmm ... saya sebetulnya ingin tinggal bersama anak. Tapi dia melarang."