Ia melanjutkan, "Sebetulnya ketika itu aku melihat sesuatu yang tidak beres, lalu menyarankan Ari untuk menemui profesional. Pilihan Ari langsung ke psikiater. Ia tidak ingin ke psikolog karena marasa akan merepotkan dirinya. Ari memang tidak mau bertemu banyak orang. Dari hasil kunjungan ke psikiater, dia terdiagnosa mengalami depresi."
Setelah berkunjung ke psikiater 2-3 kali, akhirnya Sylvilah yang menjadi perantara Ari dan psikiater. Selama di dekat Ari, Sylvi diam-diam memantau perkembangan Ari lalu melaporkan hasilnya kepada psikiater.
Selanjutnya Sylvi membagikan kisahnya kepada Selvi (moderator), dalam bentuk tanya-jawab berikut ini:
Hai Kak, selama menjadi caregiver tentu ada kendala dan tantangan dalam menghadapi orang yang punya keinginan kuat untuk suicide. Apa saja bentuknya, Kak?
Aku merasakan banyak tekanan, baik secara fisik maupun emsional. Juga secara finansial. Itu semuanya melelahkan. Tapi yang paling berat adalah secara emosional. Tantangan ini agak tricky, karena proses aku mendampingi orang itu sudah cukup lama sejak dia mengutarakan keinginan bun-dirnya dan mencoba upaya-upaya tersebut di depan mata.
Aku cukup lama mendengar keluhan, curhatan, dan emosi negatif si Ari, lalu ketransfer (tertular) ke aku. Karena begitu seringnya terpapar hal-hal yang buruk dari dia, akhirnya timbul pikiran dalam diri aku, 'Oh, mungkin memang begitu (bundir) 'kali ya solusinya?'
Dengan terpapar emosi negatif terus-menerus, cukup menguras tentunya. Bagaimana Kakak mengatasinya?
Aku juga (awalnya) bingung. Pikiranku penuh banget, dan responsku pada saat itu cuma, ya sudah, dengerin aja. Tapi ada hal yang perlu dibedakan. Betul dia depresi. Â Dia merasa tidak nyaman, dia merasa sakit, dan lain-lain. Oke, kita validasi emosinya. Aku selalu bilang, "Iya, jadi elo pasti nggak enak."
Tetapi ini pun nggak gampang. Situasinya menjadi buruk itu ketika kita menerima begitu saja emosi negatif dia tanpa boleh meng-counter-nya. Ibaratnya dia bilang, 'gue boleh ngelempar kotoran ke elu, tapi soal kotorannya mau kamu bersihkan atau buang, itu urusan kamu. Yang jelas kamu nggak boleh lempar balik ke aku. Karena hal ini, aku nggak bisa melakukan apa-apa dan ini berat banget sih. Padahal, kita harus membedakan antara memvalidasi perasaan-perasaan dia dengan tidak membenarkan perilakunya.
Kalau seorang penyintas mengeluarkan kata--kata yang buruk, bagaimana caranya supaya kita tidak sakit hati atau terbawa perasaan marah?
Sebentulnya, untuk tidak membalas kata-kata kasar dari seseorang itu agak sulit. Kalau dibilang jangan baper, sangat nggak mungkin karena hal ini sudah sangat menyakitkan. Kalau itu terjadi, aku menahan diri dan tarik nafas sekuat-kuatnya lalu hembuskan lagi. Ini aku lakukan berulang-ulang. Kalau aku pengen nangis, aku nangis aja. Yang pasti, jangan mengingkari efek dari emosi negatif yang kita alami. Kalau perlu, lampiaskan kemarahan kita melalui barang, asalkan jauh dari dia. Emosi itu harus dilampiaskan dan dikeluarkan. Jangan dipendam.