Mohon tunggu...
Erna Cahyani
Erna Cahyani Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ 2012. Menulis dan membaca adalah kegiatan yang paling membahagiakan. \r\nhttp://starersnew.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Hati yang Terselip

5 Desember 2013   22:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:16 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia merebahkan tubuhnya di atas bangku panjang yang dinaungi oleh pohon Beringin yang rindang, melepas kacamata dan menyelipkan pembatas buku di bagian tengah, tinggal sedikit lagi ia akan menyelesaikan bacaannya, Dunia Sophie - Jostein Gaarder. Kepalanya sedikit mendongak ke atas menatapku yang hanya bisa menguap lebar-lebar. Kau pasti mengerti mengapa mahasiswa seperti aku sangat tersiksa memiliki teman yang hobinya hanya membaca buku... buku... dan buku, padahal dia lelaki. Disaat lelaki seumurnya sedang berusaha untuk membeli majalah dewasa yang akan ia baca di sela-sela jam kuliah, dia justru menyusupkan beberapa buku tebal dan novel-novel di antara tugas dan makalah statistikanya.

Di saat-saat tidak ada mata kuliah seperti ini, dia lebih senang mengajakku duduk di bawah pohon beringin, pohon yang sudah terlalu tua, tetapi terlihat semakin berwibawa dengan akar-akar besarnya yang mencengkram kuat di dasar tanah.

"Diem aja dari tadi, korslet ya abis kuis barusan ? santai saja." sindirnya sambil senyum-senyum, sepertinya dia sudah membaca pikiranku.

"Gue juga bakal santai kalau gue punya otak yang sama kayak lo" serangku sambil mengutak-atik playlist lagu yang akan kudengarkan untuk mengisi kebosananku selagi menemaninya membaca buku, dia langsung meraih pipiku, mencubit dengan jari besarnya, sekenanya. #NowPlaying Depapepe - This way .

Gara beringsut bangun dari posisi rebahnya, memandang jalanan kampus yang lumayan ramai, beberapa mahasiswa yang sedang mengobrol tentang sidangnya bulan depan dan beberapa lagi memandang ke arah kami dengan tatapan menuduh seolah aku dan Gara adalah sepasang kekasih. Apa kau juga berpikir begitu ? tolong, aku tidak sedang ingin muntah. Aku dan Gara dipertemukan di dalam kelas UTS Pancasila tiga tahun yang lalu, saat semester satu. Saat aku sangat benci kepadanya karena ia tidak memberitahu jawaban pilihan ganda nomor sebelas.

Rupanya ia sadar kalau aku adalah satu-satunya orang yang paling membencinya di kelas itu saat semua wanita mengagumi ketirusan pipinya, ketebalan alis matanya, dan aku hanya bisa merengut kesal saat nilainya selalu di atas rata-rata dan mencapai indeks prestasi kumulatif mendekati sempurna. Ternyata di luar perkiraanku, Gara justru menghampiriku dan terus menerus menyuapiku dengan buku-buku tebalnya, hingga akhirnya aku setuju untuk terus diajari olehnya. Tetapi dengan syarat, aku harus selalu menemaninya membaca buku di bawah pohon beringin ini. Jadilah aku dan dia seperti penunggu pohon ini, menjadi dua sisi yang berlawanan. Kadang aku sampai tertidur di pundaknya dengan telinga tersumbat headset dan ketika bangun pada saat sore hari, tas gemuknya sudah berada di bawah kepalaku sebagai alas, dan dia masih terus membaca bukunya sampai terkadang ikut tertidur di sebelahku.

"Ta, bersyukur. Tuhan itu menciptakan kita berbeda biar kita bisa belajar. Apa asiknya semua orang di dunia ini mempunyai kesukaan, kemampuan, bahkan yang lebih ekstrim lagi ciri fisik yang sama, dipukul rata jadi cantik dan ganteng semua, gaada relativitas. Apa dunia ini masih asik ?" pertanyaan Gara yang menggantung seperti jemuran basah itu terngiang-ngiang di kepalaku.

Aku hanya menjawab pertanyaan Gara dengan kedikan bahu, tidak semua yang ia pikirkan dapat kuterima begitu saja, meski pernyataannya memang banyak benarnya. Tapi bukan Kanata namanya kalau tidak keras kepala, aku dilahirkan dengan kepala yang sekuat baja. Aku serius dalam hal ini. Kau tentu pernah mengalami kecelakaan pertamamu saat masih balita. Hal itu mungkin saja terjadi saat kau mencoba untuk berjalan atau sekedar menaiki kursi di meja makan. Tetapi kecelakaan perdanaku berbeda.

Pada saat itu usiaku baru menginjak dua tahun, aku masih ingat letupan kecil itu. Aku sedang diayun-ayun di gendongan gantung ketika kemudian dengan cerobohnya kakak lelakiku yang saat itu berusia tujuh tahun sedang main kembang api di dalam rumah. Maksud hati ia ingin memberikan kejutan untuk adik perempuan manisnya yang saat itu genap berusia dua tahun dengan memperlihatkan gemerlap kembang api . Ia mendekati kain gendong gantungku, tangan kanannya menggenggam sebuah pemantik gas dan kembang api dengan kawat panjang di ujungnya pada tangan kirinya.

Tik... pemantik gas dinyalakan, tetapi rasanya malah ujung kain yang tebakar. Wajah Kak Lito mulai panik, ia berlari terbirit-birit ke dapur membasahi karpet kamar mandi sampai membanjiri dapur sambil meneriaki nama Ibu yang sedang sibuk menyapu halaman rumah. Beberapa detik sebelum Kak Lito sampai padaku, tali tambang pengait dengan kain sukses terbakar dan aku mendarat dengan posisi dahi menantuk ubin. Kak Lito menghadiahiku sebuah benjol sebesar bola kasti di dahi kananku yang tak kunjung kempis selama dua minggu. Sesudahnya persembahan dari ayah... Kak Lito mendapat sabetan gesper di pantatnya.

"Lo spesial, Kanata. Yang lo punya, belum tentu gue punya." Gara mengacak lembut rambut kuncir kudaku yang akhirnya berantakan karena tangan isengnya, buru-buru kutepis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun