Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan rencana keuangan yang memuat rincian penerimaan serta pengeluaran negara setiap tahunnya dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penyusunan APBN yang dilakukan Pemerintah pada setiap tahunnya ditetapkan berdasarkan Undang-Undang. Setelah penyusunan, maka pelaksanaan APBN dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Dalam proses perkembangan, APBN bisa saja mengalami revisi atau perubahan di tengah-tengah berjalannya tahun anggaran. Pemerintah harus mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan APBN saat melakukan revisi, agar selanjutnya bisa mendapat persetujuan dari DPR. Presiden menyampaikan RUU berupa laporan keuangan yang telah diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR. Jangkauan waktu yang diberikan selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, Pasal 11 ayat 4 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa belanja negara dalam penggunaannya dipergunakan untuk penyelenggaraan tugas pemerintah pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.05/2013, belanja pemerintah pusat dikelompokkan menjadi belanja pegawai, belanja modal, belanja barang, belanja pembayaran, belanja subsidi, bunga utang atau kewajiban, bunga hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Untuk mencapai tujuan nasional, belanja pemerintah pusat memiliki peran yang sangat penting dalam menjalankan fungsi dan ketersediaan dana. Fungsi yang dimaksud antara lain fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Apabila pola penyerapan dana APBN sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi responsif, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi peningkatan belanja yang ideal.
Tahapan penting dalam pelaksanaaan APBN yaitu pencairan dana. APBN hanyalah sebatas angka jika tidak dilakukan pencairan dana, akibatnya APBN tidak akan memberikan dampak apapun terhadap pembangunan dan perekonomian. Pada kenyataannya APBN memiliki peran yang sangat penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Semakin cepat proses pencairan dana APBN maka akan memberikan gambaran secara jelas dan nyata mengenai tingginya capaian pemerintah dalam penyediaan fasilitas fisik maupun non fisik. Namun terkadang pelaksanaan anggaran masih belum optimal karena penyerapan anggaran yang masih menumpuk di akhir tahun sehingga akan mengakibatkan kerugian bagi negara.
Dalam pencairan dana APBN terdapat mekanismenya, yang diatur dalam PMK No. 190/PMK.05/2012 yang membahas tentang tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN. Kegiatan pencairan dana APBN sangat erat kaitannya dengan Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar (SPM), dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Definisi dari masing-masing surat tersebut yakni sebagai berikut :
- Surat Permintaan Pembayaran (SPP) merupakan dokumen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara dan dibuat atau diterbitkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PKK) yang selanjutnya disampaikan kepada Pengguna Anggaran (PA) atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang selanjutnya diteruskan kepada Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PP-SPM) berkenaan. SPP harus disertai dengan lampiran bukti hak tagih yang akan dibebankan kepada negara dalam pelaksanaan kegiatan. Apabila SPP memenuhi persyaratan untuk dibayarkan, maka PP-SPM akan menerbitkan SPM. Penerbitan SPM tersebut membebankan tagihan pada mata anggaran yang telah disediakan.
- Surat Perintah Membayar (SPM) merupakan dokumen yang diterbitkan atau digunakan oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Pengujian SPM dilakukan dengan meneliti kelengkapan dokumen, kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBN, sesuai atau tidaknya SPM dengan DIPA yang menjadi dasar pembayaran, serta ketersediaan jumlah dana dalam DIPA.
- Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) merupakan surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) selaku kuasa Bendahara Umum Negara (BUN) untuk pelaksanaan pengeluaran APBN sesuai SPM. Apabila SPM tidak memenuhi persyaratan saat pengujian, maka kuasa BUN berwenang untuk menolak menerbitkan SP2D.
Persoalan mengenai penyerapan anggaran selalu saja terjadi pada setiap tahunnya, terutama di tanah air. Fakta menunjukkan belum ditemukan adanya perubahan terkait penyerapan anggaran, sehingga akan sulit untuk melakukan upaya pengoptimalan anggaran negara. Menteri keuangan berperan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) pada rencana penarikan dana pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Tugas yang harus dilaksanakan yaitu menyiapkan terkait kebutuhan dana tersebut. Apabila Rekening Kas Umum Negara (R-KUN) tidak mencukupi kebutuhan dana, maka BUN akan mengusahakan pembiayaan dari berbagai sumber yang seringkali memunculkan beban bunga yang harus ditanggung oleh pemerintah.
Proses pencairan dana APBN dikatakan cepat atau lambat secara teknis masih belum ditemukan terkait teori kebenaran atau kejelasannya. Proses pencairan dana dikatakan cepat apabila lebih cepat dari perencanaan dalam DIPA. Sebaliknya, proses pencairan dana bisa saja dikatakan lambat apabila pencairan dana lebih lama dibandingkan perencanaan dalam DIPA. Keterlambatan dan tidak terserapnya dana yang telah disediakan akan menyebabkan kerugian ekonomis akibat menanggung beban bunga dan adanya idle cash (dana atau kas yang menganggur) pada rekening pemerintah. Jika permasalahan ini tidak bisa ditangani, maka dalam pengelolaan kas yang berlebih ini akan menimbulkan resiko dan bertentangan dengan prinsip-prinsip manajeman kas yang baik. Tujuan manajemen kas dalam pemerintah yaitu untuk membiayai pengeluaran secara tepat waktu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menjaga idle cash dalam posisi yang maksimal. Selain itu, efisiensi, pengurangan resiko serta efektifitas biaya juga harus diperhatikan.
Penyebab dari penumpukan realisasi anggaran di akhir tahun disebabkan oleh banyak faktor. Faktor tersebut diantaranya mulai dari perencanaan dan pelaksanaan anggaran, pengadaan barang dan jasa, sumber daya manusia (SDM), resolusi pengelolaan anggaran, dan lain-lain. Selain itu, kebijakan yang selalu berubah antar instansi atau lembaga akibat kurangnya solidaritas juga akan memberikan pengaruh terhadap anggaran ini. Baik kecepatan maupun keterlambatan, dapat ditentukan dari kualitas dari sumber daya yang menangani proses pelaksanaan anggaran menjadi hal penentu bagi tercapainya relisasi anggaran yang telah ditetapkan. Apabila proses perencanaan anggaran tersebut kurang tepat, maka akan menyulitkan dalam hal merealisasikan anggaran. Akibatnya akan terjadi revisi atau penyusunan kembali dari anggaran dengan memakan waktu yang cukup lama untuk proses penetapannya. Oleh karena itu, proses perencanaan harus benar-benar dilakukan secara matang untuk meminimalisir minimnya penyerapan anggaran akibat tidak berjalannya program kerja.
Untuk mendorong percepatan penyerapan anggaran, Pemerintah telah melakukan berbagai usaha dengan menyiapkan beberapa langkah atau upaya yang strategis. Upaya yang dilakukan yakni dengan adanya usaha untuk meningkatkan kapasitas SDM terutama bagi para pengelola keuangan satuan kerja (Satker) dalam menyusun perencanaan pengadaan dan rencana penarikan belanja, perbaikan kelembagaan, menyempurnakan regulasi terkait penganggaran, tata cara revisi DIPA dan penerbitan ijin kontrak tahun jamak di setiap Kementerian negara. Namun, usaha-usaha tersebut dinilai masih belum mampu untuk mengeliminasi masalah penumpukan pencairan dana APBN di akhir tahun secara keseluruhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H