[caption id="attachment_251004" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Kehidupan seseorang hanya dapat bermakna dengan adanya keberadaan orang lain. Salah satu bentuk hubungan untuk seseorang dapat berelasi adalah karena hubungan darah sehingga menjadi sebuah keluarga. Keluarga merupakan tempat pertama kali anak tumbuh dan berkembang dalam bimbingan orangtua. Anggota-anggota keluarga di dalamnya saling berhubungan dan berinteraksi dalam menjalankan fungsi dan perannya masing-masing. Pada kenyataannya, banyak terjadi interaksi tidak harmonis dalam hubungan keluarga.
Kekerasan fisik di Italia adalah sesuatu yang wajar, terutama pada keluarga berpenghasilan rendah dengan anak yang masih kecil dan bandel. Perilaku kekerasan di Cina tidak hanya terjadi pada pasangan suami-istri, tetapi juga dalam interaksi orang tua-anak. Banyak contoh interaksi tidak harmonis di Indonesia, ayah yang melakukan kekerasan pada istri dan anaknya (Tribunnews.com, 15 November 2012), ibu yang mengabaikan anak-anaknya (Indosiar.com, 30 September 2012), anak yang berani dan membangkang pada orangtua (Bangkapos.com, 21 Juni 2012), atau bahkan aksi saling bunuh sesama anggota keluarga (DetikNews.com, Desember 2012; Kompas.com, 9 Desember 2012).
Permasalahan keluarga tersebut seringkali dianggap sebagai masalah domestik yang tidak penting. Padahal, hubungan orangtua-anak yang harmonis dapat untuk memprediksi hubungan dekat yang dibangun anak di masa depan, mencegah kenakalan remaja, menyediakan lingkungan kondusif bagi kesehatan mental anak, meningkatkan kesejateraan, kemampuan penyesuaian psikologis, sosial, dan emosional anak, keberfungsian emosional dan harga diri remaja, serta menanamkan nilai-nilai moral.
Kedekatan merupakan komponen penting eksistensi sebagai seorang manusia. Seseorang akan membangun hubungan kedekatan sepanjang hidupnya, baik hubungan orangtua-anak, pertemanan, dan berpacaran. Kedekatan hubungan orangtua-anak merupakan bentuk hubungan kedekatan yang paling stabil dan bertahan sepanjang hidup, dibandingkan dengan hubungan pertemanan dan berpacaran yang datang dan pergi seiring waktu. Hubungan orangtua-anak akan dipenuhi cinta dan kasih sayang, begitu juga rasa jengkel, marah, bersalah, benci, juga cemburu. Namun, ikatan hubungan orangtua-anak akan selalu membekas, bahkan meski kedua orangtua telah tiada. Kedekatan orangtua-anak lebih didefinisikan sebagai kondisi emosional dibandingkan konsep fisik. Anak akan tetap dapat merasakan kedekatan tanpa adanya kontak fisik karena orangtua telah menjadi bagian dari skema mental dan kepribadian anak.
Kedekatan yang terbangun sebagai prediktor kualitas hubungan orangtua-anak. Kedekatan memiliki kemiripan makna dengan konstruks psikologis yang telah ada yaitu (kelekatan). Kelekatan berhubungan dengan ikatan yang bersifat afeksi (emosional), terjadi sejak awal kehidupan anak dalam hubungannya dengan objek lekat. Kedekatan juga menjadi aspek penting dalam kehangatan. Kehangatan berhubungan dengan perasaan positif secara umum terhadap keluarga. Kedekatan lebih spesifik karena berhubungan dengan keintiman, afeksi positif, dan pengungkapan diri. Kedekatan mengisyaratkan adanya saling ketergantungan dan perasaan terhubung. Kedekatan ditandai dengan adanya kohesi, persahabatan, keintiman, kepercayaan, kasih sayang, dan komunikasi yang terbuka.
Pada dasarnya kedekatan lebih menggambarkan bentuk sebuah hubungan yang (hubungan timbal balik). Hubungan timbal balik yang dimaksud adalah adanya saling mempengaruhi antara orangtua-anak. Pola hubungan timbal balik terkarakterisasi menjadi bentuk hubungan timbal balik yang positif (rasa aman) dan bentuk hubungan timbal balik yang negatif(rasa takut).
Pembentukan kedekatan hubungan orangtua-anak tergantung pada budaya dan filosofi yang menjadi tradisi di mana seseorang tinggal. Nilai budaya tradisional mengajarkan keluarga di Cina untuk dapat meredam konflik dengan menitikberatkan pada kepatuhan dan penghormatan pada orang yang lebih tua sehingga akan menurunkan terjadinya konflik dan meningkatkan kohesivitas. Kohesivitas dalam keluarga membentuk kedekatan perasaan dalam hubungan antar anggota keluarga. Keluarga di Mexico menitikberatkan pada kedekatan dan ketergantungan terhadap keluarga. Nilai budaya yang merefleksikan yaitu (perasaan loyalitas, hubungan timbal balik, dan solidaritas terhadap anggota keluarga lainnya) dan (rasa hormat terkait hubungan hierarki yang dibedakan oleh usia, jenis kelamin, dan status sosial). Keluarga di Eropa lebih menekankan kemandirian, suasana penuh kehangatan, keintiman, dan ekspresi emosi yang bebas dalam menciptakan kedekatan. Kebudayaan Indonesia memiliki kemiripan dengan budaya keluarga di Cina, yaitu menekankan harmonisasi dan ketergantungan dalam keluarga. Harmonisasi dalam keluarga ditandai dengan saling merasakan suka duka, saling membantu, serta saling menghormati satu sama lain.
Dimensi dalam kedekatan hubungan orangtua-anak, yaitu adanya saling ketergantungan, keterhubungan, dan kemandirian. Saling ketergantungan dapat terlihat dari kuatnya hubungan saling mempengaruhi, muncul dari berbagai aktivitas yang dilakukan, serta keterlibatan dalam berbagai macam aktivitas yang telah berlangsung lama. Keterhubungan dan kemandirian penting dalam membantu anak menginternalisasi rasa aman serta kapasitas keintiman dan individuasi, yang berkontribusi dalam membangun hubungan dekat.
Bentuk kedekatan dengan orangtua, dapat terlihat dari keterbukaan dalam komunikasi, pemahaman, cinta, dan rasa hormat, baik oleh anak terhadap orangtuanya maupun orangtua terhadap anaknya, pengawasan orangtua terhadap aktivitas anak, serta penerimaan dan dukungan yang dirasakan anak dari ayah dan ibu untuk mandiri. Kedekatan hubungan orangtua-anak akan diwarnai dengan kasih sayang, komunikasi dengan penuh kejujuran dan rasa hormat, pengungkapan diri secara emosional terhadap orangtua, serta kepuasan kepuasan yang lebih besar terhadap hubungan keluarga.
Perubahan sosial di berbagai bidang mengakibatkan pergeseran dari nilai-nilai tradisional ke arah nilai-nilai modern, terutama terkait relasi anak dengan orang tua. Nilai-nilai yang dipakai dalam keluarga lebih cenderung pada nilai-nilai baru (modern) yang egaliter. Hubungan laki-laki dengan perempuan yang semakin setara mendorong meningkatnya, pertukaran pikiran, sekaligus meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dibanding generasi sebelumnya. Dalam kehidupan keluarga, laki-laki dan perempuan mempunyai peran dan tingkah laku yang berbeda agar dapat saling melengkapi diantara keduanya.
Ayah dan ibu yang bekerja mungkin meninggalkan rumah pagi-pagi dan pulang larut malam sehingga waktu untuk berinteraksi dengan anak menjadi berkurang, atau keluarga yang anggotanya bekerja di kota berbeda sehingga waktu berkumpul hanya saat akhir pekan. Pembentukan kepribadian anak pada akhirnya lebih dipengaruhi sekolah dan lingkungannya, juga teknologi informasi. Kesibukan orangtua mencari nafkah akan menurunkan kedekatan dan pengawasan terhadap anak. Orang tua menjadi terbatas pengetahuannya tentang kegiatan anak di luar rumah sehingga memungkinkan terjadinya perilaku berisiko pada remaja. Ada perbedaan anak jaman dahulu dan sekarang, terutama terkait dengan perilaku anak yang tidak lagi penurut terhadap nasihat orangtua.
Anak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang berkuliah dan menyandang status mahasiswa, yaitu dalam rentang usia 17-24 tahun. Penetapan rentang usia tersebut sesuai dengan yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu 15-24 tahun sebagai usia pemuda. Batas maksimal usia 24 tahun, belum menikah, masih bergantung pada orangtua, sehingga belum memenuhi persyaratan kedewasaan baik secara sosial maupun psikologis. Fokus penelitian pada kedekatan hubungan remaja dengan orangtua karena pentingnya orangtua sebagai sumber dukungan untuk kesuksesan remaja melalui masa transisi menjadi individu dewasa yang mandiri. Remaja akhir membutuhkan dukungan dan bimbingan orangtua sebagai sumber kunci untuk dapat sukses melalui masa transisi menjadi dewasa. Kedekatan hubungan dan dukungan orangtua penting bagi remaja dalam menghadapi pengalaman hidup yang menekan. Hubungan tidak harmonis dengan orangtua akan membuat remaja mencari cinta dan hubungan keintiman di luar keluarga.
Remaja di Mexico merasakan kedekatan yang lebih besar dengan ibu dibandingkan dengan ayah. Remaja di Eropa juga merasa lebih dekat dengan ibu dibanding dengan ayahnya. Remaja juga lebih percaya kepada ibu dibandingkan dengan ayah. Remaja akan datang jika membutuhkan sesuatu serta lebih mempercayakan rahasia pada ibu.
Rasa percaya anak terhadap orangtua akan meningkatkan kedekatan emosional dengan anak. Rasa percaya anak dalam budaya Jawa berdasarkan konsep “ngemong” dari Ki Hadjar Dewantara, yaitu (memberi kasih sayang), asuh (proses merawat, mengasuh, mengawasi, serta memastikan bahwa anak berkembang dengan baik), dan asah (mendidik dan memberi teladan)dalam pengasuhan orangtua terhadap anak. Ayah memiliki peran utama dalam asah, sedangkan ibu bertanggungjawab dalam asih dan asuh. Anak merasakan kenyamanan, kebersamaan, terhibur, dan bahagia saat dekat dengan ibu. Anak menunjukkan kekaguman dan rasa hormat pada ayah lebih karena apa yang telah dilakukan untuk keluarga. Anak menghargai ayah karena menganggap ayah sebagai kepala keluarga, telah memberi yang terbaik, bekerja keras, memberi banyak nasehat dan pengharapan terbaik, bertanggungjawab terhadap keluarga, serta memenuhi kebutuhan. Namun, anak tetap lebih mempercayai dan dekat dengan seseorang yang menyediakan ikatan emosional.
Stereotipe dalam masyarakat bahwa anak perempuan akan memiliki hubungan dekat yang erat dan kokoh dengan ibu. Anak perempuan merasa dekat dengan ibu, demikian juga anak laki-laki merasa lebih dekat dengan ibu dibandingkan dengan ayah. Namun, ikatan kedekatan hubungan anak perempuan dengan ibu lebih kuat dibandingkan ikatan kedekatan anak laki-laki dengan ayah. Penelitian Rohde, dkk. (2003), menunjukkan bahwa remaja perempuan di Eropa lebih dekat dengan ibu. Kedekatan remaja perempuan di Mexico juga merasa lebih erat dengan ibunya. Hubungan dengan ibu lebih dekat dan lebih terikat dibandingkan dengan ayah, serta lebih memungkinkan untuk terjadinya konflik dengan ibu. Kasus konflik ibu dengan anak perempuan sering terjadi, bahkan sempat memanas di media. Seperti pernah dialami artis Juwita Bahar (Blogspot.com, 4 Februari 2012), Julia Perez (Liputan6.com, 13 Maret 2012), Kiki Fatmala, Qory Sandioriva, Marshanda,serta Arumi Bachsin (Uniknya.com, 10 Mei 2012). Dalam perkembangannya setelah beradu argumen, saling membenci, serta dipenuhi dengan tetesan air mata, hubungan ibu dan anak perempuannya kembali akur dan rekat.
Penurunan tugas tanggung jawab terlihat dilakukan oleh ayah kepada anak perempuan, serta ibu kepada anak laki-lakinya. Kedekatan hubungan ayah dan anak memungkinkan untuk meningkat intensitasnya mulai kira-kira akhir tahun pertama hingga anak berusia 5 tahun. Setelah periode itu berlalu, anak mulai tidak lagi dekat dengan ayah dan mengambil jarak dengannya. Ayah kurang terbuka mengekspresikan kedekatan, misalnya dengan memeluk, mencium, berbincang, atau mengatakan “aku sayang kamu”. Hubungan ayah dengan anaknya baik perempuan maupun laki-laki lebih berjarak karena pola hubungan hierarki dan otoritas laki-laki. Aktivitas bersama dipandang sebagai indikator meningkatnya kedekatan dengan ayah. Bentuk interaksi dengan ayah dapat terlihat dari kegiatan-kegiatan yang bersifat informal dan rekreatif, sepertimengunjungi tempat-tempat wisata, mengajak untuk memperhatikan hal-hal menarik di luar rumah, kesediaan ayah untuk mengantarjemput sekolah, menolong ibu melakukan pekerjaan rumah tangga, serta membantu anak menyelesaikan tugas sekolah. Aktivitas bersama juga dapat berupa olahraga dan melakukan pekerjaan rumah bersama.
Alasan penting mengeksplorasi kedekatan karena kedekatan sebagai elemen esensial dalam perkembangan hubungan individu dalam berelasi dengan individu lain. Penelitian sebelumnya oleh Rohde, dkk. (2003) menemukan bahwa anak lebih dekat dengan ibu dibandingkan ayah. Namun, belum menjelaskan alasan mengapa anak merasa dekat dengan salah satu orangtua dan bentuk kedekatan yang terjadi. Atmojo (2012) juga pernah meneliti faktor-faktor kedekatan dengan ibu, tetapi belum dengan ayah. Sebuah penelitian dengan menggunakan pendekatan indigenous psychology dapat memahami lebih jauh lagi tentang dinamika kedekatan hubungan remaja-orangtua. Suatu budaya hanya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat setempat , bukan oleh individu yang berada di luar budaya tersebut. Pendekatan yang dilakukan yakni melalui budaya keluarga Jawa karena Jawa sebagai suku terbesar di Indonesia.
Salam.
Mahasiswa Magister PsikologiUniversitas Gadjah Mada
Penerima Bakrie Graduate Fellowship 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H