Tetapi, mohon kiranya mereka yang tergolong petani gurem atau penggarap mesti keluar juga dari 'lingkaran setan kemiskinan'. Bicara apa ini sohib? Petani penggarap itu identik orang miskin.Â
Saya kira, itulah sasaran dari kebijakan pemutihan utang karena buat apa petani atau nelayan berutang jika sudah mampu apalagi sudah kaya.
Konyolnya, mereka yang tidak menerima pemahaman sedalam apapun, tukang nyinyir kurang bersuka cita  menyambut terobosan baru itu. Mungkin di kepalanya masih tertancap prasangka aneh terhadap kebijakan pemerintahan baru.Â
Yang jelas utang petani dan nelayan berbeda utang obligor nakal, yang tidak rela melihat kondisi yang diinginkan. Apa itu? Perubahan. Biar perlahan upayanya daripada tidak sama sekali berbuat untuk petani dan nelayan.
Berharap kebijakan pemutihan utang petani dan nelayan bukan ada atau tidak ada agunan. Mereka ada bukan dari masalah tentang percaya atau tidak pada rentiner dan pinjol, melainkan membangun kekuatan mereka sebagai petani dan nelayan agar tidak bergantung pada kreditur atau pengutang. Bagaimana caranya? Salah satunya, fasilitasi atau pemberdayaan petani dan nelayan hingga mereka benar-benar mandiri dan produktif.Â
Di situlah pemerintah membuka akses mereka dalam layanan keterampilan, pendidikan hingga akses modal usaha. Ah, ya memang berangkat dari konsep teoritis. Itu memang tidak gampang.Â
Lalu, kapan mulainya. Prooogh! Bukankah teori itu kebanyakan muncul dari pengalaman?
Bangkitlah negeriku! Amanah dan rubahlah pemerintah atas kondisi negeri menuju Indonesia adil dan makmur! Gombal ni yee!
Petani dan nelayan bersatulah melawan kemalasan! Heah, heah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H