Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cogito dan Kegilaan: Descartes, Foucault

14 Oktober 2024   16:45 Diperbarui: 29 November 2024   14:17 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan tetapi, jiwa intelektual akan mengulanginya seratus kali lagi bahwa ‘kepastian langsung’, seperti muncul sebuah ‘daya pemusnah kemapanan’ dan sesuatu dalam dirinya bergejolak. Ia memuat suatu pengakuan akan contradictio in adjecto paling samar dan cerah kembali: sudah saatnya orang-orang membebaskan dirinya dari kata-kata dan setan pikiran!

Orang-orang yang mulai berpikir bahwa persepsi berarti mengetahui sampai akhir; sampai mereka menipu dirinya sendiri. Seorang filsuf harus berbicara pada dirinya sendiri. Jika “Aku” menganalisis proses yang diekspresikan melalui proposisi “Aku berpikir,” kita akan menemukan serangkaian penegasan yang cukup pelik.  

Contohnya, “Aku adalah yang berpikir,” titik dimana kegilaan menandai sesuatu melebihi ‘pikiran’. "Aku berpikir" berarti suatu tindakan berbarengan dengan akibat kegilaan berubah menjadi penyebab. Kegilaan adalah yang tidak atau terpikirkan secara berlebihan. 

Akhirnya, bahwa kita sekarang memahami dengan jelas apa yang dimaksud sebagai subyek berpikir. Bahwa “Aku” ‘mengetahui’ apa yang dimaksud dengan berpikir untuk tanda kegilaan. Karena “Aku” belum memutuskannya bagi diriku sendiri, bagaimana “Aku” bisa menentukan bahwa apa yang terjadi bukan tamatnya tubuh, tetapi mulainya kegilaan.

Pendeknya, dalam kegilaan yang mengatakan “Aku berpikir” mengasumsikan bahwa aku membandingkan ‘keadaanku sekarang’ dengan ‘keadaan-keadaan lain’ yang aku alami dalam diriku sendiri serta yang membentuknya. Karena adanya referensi kembali pada “pengetahuan” tentang “waktu” dan “ruang,” maka setidaknya bagiku, tidak ada yang disebut lagi sebagai “kepastian” langsung di sini.

Lalu, sebagai ganti ‘kepastian langsung’ yang banyak diyakini orang-orang awam, seorang filsuf memperoleh serangkaian pertanyaan metafisik dan ini benar-benar merupakan pertanyaan ‘kaum intelektual terhadap kesadaran’. 

Pertanyaannya, dari mana asalnya konsep berpikirku? Mengapa “Aku” percaya pada relasi antara sebab dan akibat dari kondisi apa? Apa yang memberikan hak padaku untuk berkata tentang “Aku”, dan selain itu, “Aku sebagai penggelisah” dan terlebih lagi, “kegilaan sebagai penyebab pikiran?”

Orang yang berani menjawab pertanyaan-pertanyaan metafisika seperti ini secara langsung dengan mengacu pada mesin tanda kegilaan yang nyata; (seperti orang melihat dirinya di dalam kekosongan: ‘Aku berpikir dan aku tahu bahwa setidaknya benar, nyata, pasti’) akan dihadapkan pada sebuah senyuman dan dua tanda tanya oleh para filsuf atau penggemar intelek saat ini.

“Tuanku,” kata sang filsuf. “Apakah kaum intelektual menggumuli seluruh atau sebagian saja yang dikuasai bidang kehidupan?” “Tidak mungkin engkau tidak salah.” Tetapi, mengapa kita bersikeras tentang kebenaran yang telah lama ditunggu kepicikannya?

Dalam kaitannya dengan takhyul para mantik atau ahli logika, bahwa sebuah pemikiran datang apabila ‘ia’ menginginkannya dan bukan saat aku menginginkannya. Jadi, sebuah gerutu besar dalam mimpi ilusif adalah pemalsuan esensi jika kita mengatakan bahwa subyek “Aku” adalah syarat bagi predikat ‘berjiwa besar’. Kegilaan itu ada, tetapi untuk menegaskan bahwa ‘ada’ adalah hal yang sama dengan “Aku” hanyalah pra konsepsi belaka, sebuah persangkaan, dan tentu saja bukan ‘kepastian langsung’.

Pada akhirnya, ‘berpikir itu ada’ juga merupakan langkah yang terlalu jauh: karena ‘ada’ juga tersebut memuat suatu interpretasi tentang sebuah proses dan bukan bagian dari proses itu sendiri.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun