Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Hasrat dan Nafsu: Akhir Nalar

12 Maret 2024   10:03 Diperbarui: 31 Maret 2024   12:23 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berikut ini diskursusnya.

***

Kelahiran hasrat seiring dengan fenomena tubuh, yang dirasuki dengan nafsu di antara nilai tanda (tajir, parlente, cerdik, kuasa). Hasrat dan nafsu begitu dekat dengan selera saat nilai tanda terbungkus dengan tubuh. 

Suatu penampilan tubuh yang dipolesi dengan nilai mulia dan dipuja karena keindahannya, yang ditampilkan dalam ruang terbuka.

Tetapi, ia tidak lebih dari bentuk-bentuk yang memberitahukan pada kita melalui tubuh yang menyebar. Pengetahuan sampai pada satu kesimpulan sementara tentang sesuatu yang membuat seseorang terpikat dan tergelincir. 

Secara tergesa-gesa, seseorang bisa mengetahui bahwa hal-hal yang membuat individu tergoda dan tergiur oleh sesuatu melalui hasrat dan nafsu yang meluap-luap. 

Padahal, perpaduan hasrat dan nafsu diselipkan dalam kuantitas yang mengiringi diskursus kuasa. 

Dua periode atau lebih dalam masa jabatan presiden, misalnya, dimana kualitas terdapat perbedaan kecil merasuk antara nilai tanda hasrat dan nafsu untuk kuasa. Berdasarkan kuantitas dan kualitas itulah, maka relasi kuasa bernilai tinggi.

Kita tidak bisa memastikan apakah tatanan ilmiah memiliki pemihakan akan terbentuk dari penyajian secara kuantitas. Saya tidak percaya jika orang yang tidak berhasrat bisa merahi apa yang tertanam di dalam kepalanya. 

Ketika tatanan ilmiah hanya menyelidiki mengapa benda-benda atau obyek mampu menciptakan hasrat dan kesenangan, seperti rokok, busana, tas, jam tangan, dan sebagainya, maka sebagai nilai terendah dan tertinggi dari hasrat. Setiap nilai sesuatu yang dilihat sekadar sambil lalu dan satu persfektif saja lantaran ketergesa-gesaan dan prasangka yang merenggut pikiran kita. 

Sampai di sini, ada beberapa hal yang perlu dicatat sebelum kita menoleh yang lain.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun