Maka tidak heran, dalam praktiknya, politik makin heboh ketika hitungan kurang sepekan bakal calon presiden tidak terjadi akad nikah, malah berpaling ke "pacar baru," bakal calon wakil presiden yang lain. Apalagi jika cuma hitungan kurang lebih dua bulan sebelum pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden. Masih banyak kagetan, telikung, utak-atik, dan kemungkinan lainnya akan terjadi.
Jangankan tokoh bakal calon wakil presiden dan koalisi "bongkar pasang," bakal calon presiden bisa saja jomblo sembari mana tahan menanti pacar yang akan melengkapinya menuju akad nikah secara resmi sebagai pasangan yang akan melenggang ke Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Toh, apalagi sosok AHY yang ditinggal "kekasih." Sekadar dicatat. "Surat cinta" dari Anues Baswedan ke AHY yang dijadikan pasangan hanya semacam surat "cinta buta."Â
Buktinya, sudah lama bersama, saling berpelukan, bergandengan, menghadiri acara, ternyata kandas di tengah jalan. Hal itu juga dianggap 'hal biasa' dalam politik.
Bukan hanya persoalan siapa duluan yang deklarasi dan berapa lama romansa "pacaran" ala "anak baru gede" (ABG), gampang jadian, habis itu putus. Lalu, lamaran dan koalisi buyar akibat diterpa oleh permainan kepentingan lainnya. Tetapi juga, tidak rampungnya membaca semua "titik celah" lawan politik yang akan dimainkan oleh si dalang atau sang aktor mumpuni.Â
Nah, sang aktor sudah bisa memainkan kartu. Siapa yang cocok berpasangan antara yang satu sama yang lainnya. AHY rupanya "belum pas" untuk disatukan dengan Anies. Di situlah muncul Muhaimin Iskandar sebagai pasangan baru untuk melangkah ke tahapan berikutnya.
Jika Cak Imin, panggilan akrab Muhaimin Iskandar masih dianggap "bola benjol" alias belum utuh berpasangan dengan Anies. Boleh jadi "akan ditinggalkan" juga sebelum tahapan resmi sebagai calon presiden dan wakil presiden. Dalam kondisi-kondisi yang sudah dimainkan dari awal, selebihnya mengatur dan menghitung tempo permainan. Jika tidak cocok dengan kepentingan yang "di atas" membuat posisi pasangan, baik sudah jadian dan belum jadian akan "diacak" dan "dikocok ulang" sampai betul-betul bertemu "puncak kenikmatan" politiknya.
Untuk sosok AHY tidak jauh dari bentuk permainan, yang setiap saat berubah-ubah. Secara umum, permainan berlaku bagi yang lainnya. AHY nampaknya siap-siap akan bersuara usai deklarasi Anies-Muhaimin. Kemungkinan AHY bakal berbicara untuk memilih skenario jitu buat Demokrat kedepan. Yang jelas, Demokrat tidak kembali ke poros Nasdem, Surya Paloh-Anies.
Seiring pilihan politik tersebut muncul suara dengan nada cukup meyakinkan. Contohnya, obrolan di grup Whatsapp, ada senior menganjurkan agar AHY tetap ke koalisi. KPP dianggap sebagai koalisi yang sepotongan dengan AHY. Perubahan dijadikan sebagai 'tuntutan dan nafas perjuangan'. Begitu pandangan sebagian orang.
Meski AHY "jomblo politik sementara" usai ditinggal pergi "pacarnya," Anies. Cepat atau lambat, AHY mesti ambil keputusan. Sekitar dua bulan sebelum akhir pendaftaran bakal calon dan wakil presiden, masih ada waktu bagi AHY untuk memilih. Istilahnya, Demokrat bagai hidup sebatang kara akan berakhir.
***
Sebelum terdengar berita, bahwa Partai Demokrat satu-satunya yang punya kursi di parlemen, tetapi tidak punya koalisi pasca deklarasi Anies-Cak Imim. Hidup sebatang kara memang tidak diminta oleh Demokrat.