Tuan Gerung berhasil melakukan pemisahan antara aduan dan ogahan, laporan dan acuh tak acuh. Namun, serempak dari beberapa pihak telah melaporkan dugaan penghinaan presiden ke kepolisian. Nyatanya, Presiden Jokowi lebih enggan mengubris ocehan 'sang penyocoklogi'. Pada rangkaian yang sama, pihak pembela Jokowi bisa menggemari pengaduan sang penceloteh yang menggelikan pada pihak berwajib. Dalam cara yang jelas, para pendukung Jokowi melebihi kekesalan untuk memainkan peran politik.
***
Jangan khawatir. Saya tidak akan menyerobot pemikiran dari ahli bahasa. Tokoh linguistik yang berbicara. Lagi pula, saya bukan ahli bahasa. Itulah makanya, saya tidak begitu doyan membahas secara mendalam tentang bahasa. Kendatipun saat orang menulis tidak terlepas dari bahasa. Bahasa tulisan lebih pasnya.
Tetapi, saya senang untuk menggunakan bahasa tertentu, terutama menyoroti ujaran yang kebangetan. Kata-kata yang terlalu menohok membuatku geleng-geleng kepala.Â
Kata bajingan bisa sesenti lagi wajah merah padam dibuatnya. Ujaran kebencian atau ujaran yang kasar dan menjelek-jelekan individu dan kelompok. Dari istilah orang disebut kurang piknik bagi penghina. Cuma orang bertanya. Siapa yang menghina? Siapa yang dihina? Betul apa betul? Betulkah terjadi penghinaan pada presiden? Di situlah pakar bahasa mengkajinya.Â
Agar terhindar dari prasangka, mungkin juga ujarannya semacam julid, judes lidah. Sebenci-benci dan seanti-antinya seseorang terhadap yang lain, maka usahakan hindari kata-kata kasar apalagi hinaan dan fitnah seenak perutnya. Kita secara pribadi tidak pernah menjelek-jelekkan seseorang hanya karena beda pilihan dan rezim penguasa. Termasuk beda pilihan politik tidak lantas kita seperti "jurus mabuk." Kita bukan sok santun, sok beradab, dan gila tata krama dalam berbicara. Umpamanya, jika Anda dijuluki bajingan tengik. Demi langit dan bumi! Anda tidak terima karena tidak berprilaku demikian. Anda tidak hidup di zaman besi.
Nyaris setiap diskusi, istilah dan ungkapan cukup santai menghiasi obrolan. Selebihnya, ada saja orang tidak tahan nyicil dan kontan dalam kritik dan ujaran yang kasar tak terhindarkan.
Jika demikian, baiklah. Profesor ilmu linguistik, I Dewa Putu Wijana membuka ruang diskusi tentang kata 'bajingan'. Dimulai dari tinjauan etimologis. Kata 'bajingan' berasal dari bahasa Jawa, yang bermakna kusir alias sais gerobak. Betul, pedati yang ditarik oleh sapi. Bajingan merupakan kata benda. Subyek. "Bajingan membawa jerami padi ke kampung kemarin." Pokoknya, bajingan itu membantu petani. Keberadaan bajingan ternyata sudah ada sejak zaman kolonial. Penduduk di luar pulau Jawa sudah mulai tahu. Paling tidak kata bajingan belum lahir satu frasa "bajingan tengik" di tempoe doeloe. Akhirnya, kata bajingan sudah terjadi perubahan makna di zaman milenial. Dari kata bajingan berbarengan bermakna positif ke negatif. Dari makna yang enak-enak saja menjadi makna yang buruk.
Pertanyaannya, jika kata bajingan bermakna negatif akibat pengaruh tokoh-tokoh jahat di film barat, mengapa bahasa lokal bermakna ‘negatif’ begitu banyak tidak terkontaminasi menjadi makna ‘negatif’? Contoh, diantaranya kata ’bangsat’. Mungkinkah kata bajingan paling familiar dan hanya satu-satunya yang bisa diakronimkan? Pertanyaan itu tidak untuk dijawab. Pertanyaan tersebut sekadar perbandingan.
Apa boleh buat, kita menengok sekilas sejarah kata bajingan. Cobalah membandingkan kata bajingan dengan maknanya yang paling mutakhir! Kata bajingan yang kekinian.
Andaikan kata bajingan dilihat dari sisi kepluralan makna bajingan. Nah, kepluralan makna bajingan menurut profesor bahasa tersebut seiring perubahan zaman. Kenetralan makna bajingan lebih menonjol dan enyah dari penggunaan kata bajingan yang bersifat negatif. Jadi, ada semacam negativitas makna yang bersaling silang dengan kepluralan makna bajingan. Klaim semacam kemajemukan makna bajingan dipengaruhi oleh tanda komunikasi lewat film. Dugaan seperti kata bajingan yang terjerumus dalam sifat negatif menjadi sumber pergeseran sekaligus kepluralan makna bajingan.