Setelah berhasil tahun-tahun sebelumnya, Rocky
Gerung nampak kembali melihat masa kini yang nyata. Berisik tetapi asyik bagi yang lain. Tuan Gerung yang nyentrik sekaligus menyebalkan hanya sekadar memainkan logika yang tangkas. Tetapi, ia bukan logika kalengan. Kritik tetaplah kritik. Sepedas apapun kritik darinya, tidak semua muatan logika dan bahasa dapat diterima oleh semua kalangan. Usai diksi 'dungu' apalagi?ÂDiksi ‘bajingan’ yang diakronimkan sebetulnya tidak begitu gila dari Tuan Gerung menjadi ujaran tanpa hirarki yang membosankan. Buktinya, sudah menyembul sebagian pihak yang dongkol hingga protes atas ujaran bombastiknya.
Hubungan antara simbol kuasa dan kritik selalu tidak nyaman. Kata bajingan dan sejenisnya tidak akrab di telinga para penganut politik kuasa negara.Â
Tetapi senang jika kata bajingan dan maknanya dikembangkan untuk menjastifikasi sang pengoceh alias sang pengkritik kemapanan telah melanggar batas-batas ujaran di depan publik. Selentingan suara juga mengarah pada ujaran kebencian dari Tuan Gerung. Kritik terhadap simbol kuasa negara layaknya presiden sedang hit.Â
Lawan rezim kuasa negara kerap nyinyir dan menghujat di medsos dan grup Whatsapp. Di grup WA agak "kedap suara" karena "tersembunyi" dari pantauan. Saya kira itu lumrah di era keterbukaan. Kritik acapkali reborn di tengah sengkarut 'kebebasan berpendapat' dan 'berekspresi'. Pembela dan pendukung kuasa negara tidak pernah mati.Â
Lebih lagi, kata-kata kasar dan menjelek-jelekkan sangat asing dalam tatanan sosial yang menjaga kesantunan politik. Jokowi saat dirinya dicemoohi nampaknya menjadi kisah nyata yang tidak sudi mengekor pada kata "mengadu" atau "aduan" secara hukum.Â
Menko Hukum dan HAM, Mahfud MD sudah berbicara tentang hal tersebut. Sementara, kata bajingan disusun menjelang pemilu.Â
Suatu abad dimana gen Z yang akan mengisahkan jejak-jejak sejarah agraris dalam kacamata permainan politik. Tuan Gerung memainkan permainan kata, bajingan. Dia melibatkan kata "sensi" di balik hak politiknya. Presiden Jokowi mengelola permainan politik yang "syahdu" dan "memikat."Â
Mengapa syahdu dan memikat? Jokowi lebih memilih tidak ambil pusing. Kita sudah tahu, berita itu sudah ramai di media.
Kata bajingan tidak membuat Jokowi terkejut tatkala ketegangan mulai memuncak. Presiden Jokowi menganggap ibarat menonton acara komedian. Dia menirukan dirinya sebagai pembaca novel dan penikmat musik rock. Dia melupakan suara ingar bingar di luar dalam masa yang belum ditentukan kapan berakhirnya. Jokowi ingin fokus, kerja. "Itu hal-hal kecillah. Saya kerja saja," katanya. Di benak saya bergelayutan. Sampai kapan Jokowi bertahan dengan hinaan? Bajingan. Dia rupanya punya mekanisme pertahanan diri dari umpatan dan hinaan. Dia dahsyat.Â
Ataukah ada sesuatu di balik itu? Itu pertanyaan yang mengusikku.