Kelahiran buruh adalah kelahiran nalar sekaligus kelahiran hasrat. Mereka datang dari logika, bahasa, dan jalannya sejarah itu sendiri. Jean Francois Lyotard dalam The Posmodern Condition: A Report on Knowledge telah mengumandangkan pudarnya narasi besar: kapitalisme dan sosialisme sama saja. "Naras besar kehilangan kredibilitasnya," kata Lyotard (1984 : 37). Â
Untuk alasan itulah, buruh menjadi manusia seperti lainnya dikontrol oleh kuasa negara bersama pengusaha. Mereka diinternalisasikan bukan hanya korban citra, tetapi lebih mentransformasikan dirinya sendiri dalam citra dengan produksi yang melimpah-ruah.Â
Perjuangan buruh melawan pemilik perusahaan telah direduksi menjadi perjuangan simbolik untuk memperoleh pekerjaan dan upah serta kondisi kerja yang lebih layak bagi kehidupan. Sebuah Sistem seperti itu tidak dipertanyakan lagi.Â
Rantai ketergantungan dari buruh terhadap modal betul-betul memperkuat dominasi modal pada buruh itu sendiri.Â
Buruh yang pada akhirnya berada dalam proses deteritorialisasi (tidak memiliki tempat) berdasarkan, yaitu (i) privatisasi tanah; (ii) penciptaan instrumen produksi; (iii) hilangnya makna konsumsi melalui pemutusan ikatan keluarga dan perusahaan; dan (iv) belas kasih pekerjaan dirinya sendiri.
Langkah berikut dalam proses "kemajuan" sepanjang semangat "produktivisme" akan mirip dengan kemajuan penduduk pasca Perang Dingin (terutama eks Eropa Timur, Rusia dan bahkan RRC) dan Dunia Ketiga terutama melalui barang komoditas.Â
Tetapi, alam, bagaimanapun juga tidak akan dapat bertahan hidup. Buktinya, alam tidak akan bisa bertahan dengan beban yang ditimpakan di atasnya oleh negara-negara kapitalis maju dan negara-negara industri baru.
Sementara, perusahaan besar dan multinasional nampak sedang mempelopori perubahan aliran bunga utang dari Selatan (termasuk Indonesia) ke Utara. Produksi memerlukan penjualan-pemasaran dan karena itu juga memerlukan daya beli sebagaimana telah kita ketahui.
Mimpi utopia dari buruh untuk lebih banyak bantuan dari Utara ke Selatan (baik secara suka rela maupun yang dipaksakan) melalui perdagangan dan "pinjaman-utang luar negeri" sekaligus memperpanjang kisah kaum buruh dalam perangkap korban modal-uang.Â
Paling tidak, buruh di bawah bayang-bayang kemiskinan menemukan dirinya sendiri yang diproduksi oleh dua hal: (i) eksploitasi dan (ii) marjinalisasi atau ketergantungan. Harus juga diakui bahwa kontradiksi mendasar sedang terjadi melalui cara produksi kapitalis dalam relasi simbolik antara "Utara" dan "Selatan."Â
Bahasa politik tubuh melalui buruh di negara-negera berkembang dan terkebelakang menjadi "korban imajinasi revolusioner" justeru menciptakan ketergantungan pada "Kapitalisme Dunia yang Terintegrasi" (pelajaran bagi relasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah). Bayangkan apa yang bakal buruh perjuangkan sebagai korban apabila "kue nasional" tidak bisa diperbesar lagi atau bahkan harus diperkecil.