Guyonan serta merta menghilang dalam keingar
-bingaran peristiwa koruptif. Peristiwa demi peristiwa serupa seakan-akan sebagai tontonan gratis.ÂSatu tontonan dari sekian banyak adegan. Tontonan yang membuat warganet jengah dan muak.
Nyaris setiap hari negeri ini disuguhi operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Pelaku atau terduga mungkin sedang mabuk kepayang. Biar dosis tinggi, kesembuhan dari perilaku koruptif masih susah terobati.
Anda masih mengira, kemarin "ngeri-ngeri sedap" (teringat Sutan Batugana), kini "sedap-sedap ngeri." Keriangan ternyata dibungkam oleh pemuasan hasrat. Ngeri dan sedap sudah tidak bisa dibedakan lagi. Keduanya samar-samar.
Pertanyaan dari warganet. Masak sekadarkelas receh yang dicekok oleh KPK? Mana dong kelas jumbo, mana "kelas gajah?" Saya dan Anda mungkin tercenun. Hening cipta dimulai!
Lalu, pertanyaan itu buyar dihadapanku. Pertanyaan itu sebaiknya lebih diprioritaskan pada lembaga penegak hukum. Singkatnya, andalan kita tetap pada KPK untuk memberantas OTT. Sambil jalan, warganet turut "mengawasi" gerak-gerik para penyelenggara negara.
Pekerjaan rumah untuk memberantas korupsi memang tugas kita bersama. Kita setuju, mulai dari masing-masing pribadi. Jangan sampai kita berkoar-koar keluar, terbukti kita sendiri yang terlibat skandal suap menyuap, misalnya. Saya yakin, "kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak" masih tetap relevan dengan permasalahan kronis di negeri kita.
Namun demikian, sebagian orang menilai korupsi semacam "kanker ganas" yang menyerang tubuh bangsa. Sebagian lagi menganggapnya sebagai hal yang biasa.
Menganggap biasa terhadap hal-hal "luar biasa" lagi buruk itulah yang disebut orang sebagai banalitas alias 'kesia-siaan'. Hal yang biasa bercampuraduk dengan hal yang luar biasa dalam korupsi terjatuh dalam banalitas.
Wujud banal dan banalitas masih disambut di abad 21. Jean Baudrillard (1929-2007) telah meninggalkan jejak-jejak pemikiran tentang banalitas. Abad dimana laki-laki berusia 58 tahun dengan tatapan kosong. Kini, laki-laki itu menghadapi nasibnya.
Laki-laki itu bernama Yana Mulyana. Sosok Walikota Bandung yang mengimpikan kota tidak seindah dengan hasrat untuk "memiliki" tanpa sadar apa akibatnya. Yana terjebak oleh hasrat untuk meraup keuntungan dibalik kesempatan.