Cukup seru obrolan di atas omprengan. Ini secuil obrolannya.
"Bisanya kepala desa berunjuk rasa dengan tuntutan masa jabatan kepala desa sembilan tahun mengatasnamakan rakyat. Rakyat yang mana? Padahal mereka datang ke gedung parlemen bukan atas nama rakyat," ujar sang sopir di sampingku.
Banyak obrolan tentang masa jabatan kepala desa sembilan tahun. "Mestinya gaji kepala desa yang dinaikkan, bukan masa jabatannya," kata sang sopir.
Eh, tidak terasa sudah dekat kota. Wajahku diguyur oleh pendingin udara di atas kendaraan roda empat.
Sebagai penumpang, saya setia menemani ngobrol dengan pak sopir.
Ada yang mengusulkan supaya kepala desa dinaikkan gajinya, ungkapku. "Kalau melimpah uang desa itu bikin kepala desa malas bekerja. Karena ada yang diharap lebih banyak. Coba kalau gajinya dinaikkan akan berbeda," kata sang sopir.
Oh, begitu pak, balasku. Uang desa yang banyak, paling kurang satu milyar itu sudah banyak juga bisa dikerjakan. Tinggal apalagi yang ditunggu kepala desa. Uang banyak di desa. Terserah mau bangun apa di desa.
Kita menoleh sebentar saja ke belakang. Suatu waktu, saya bersama tim sedang mengikuti proses musrenbang desa blablabla.
Singkat cerita, saya menyimak obrolan dari perangkat desa tentang persentanse belanja desa. Heran mendengar informasi soal porsi belanja.
Terdengar jelas.apa yang disebutkan oleh perangkat desa di belakang meja. Hitung-hitungan secara kasar, katanya belanja rutin, belanja operasional termasuk belanja perangkat desa hingga honor para kader berkisar enam puluh persen.
Sedangkan porsi belanja kegiatan pembangunan sarana prasarana desa lebih rendah. Dia menyebutkan empat puluh persen belanja kegiatan pembangunan desa. Menarik bukan?