Telah diketahui, secara harfiah, fantasi berarti khayalan. Saya yakin, pemikiran tidak punya daya tarik apa-apa tanpa disokong oleh fantasi.Â
Seiring dengan hal tersebut, kandidat yang ingin maju calon presiden, maka dia juga harus disokong oleh suara terbanyak agar terpilih saat pemilihan.
Bisa dikatakan di sini, pemikiran mengenai fantasi yang cair dan tidak terbatas. Fantasi atas politik ada dalam dirinya sendiri.Â
Kepentingan politik yang dimainkannya betut-betul riuh ketika menggelembung dalam fantasi.Â
Nah, dari fantasi politik itu perlu dimunculkan melalui diskursus. Yang membuat ruang publik, diantaranya fantasi atas politik yang terelakkan.
Dari titik ini, ketidakhadiran kata-kata seiring berbolak-baliknya benda-benda dalam fantasi politik menggambarkan sebuah wilayah netral.Â
Ia mengembalikan secara diam-diam rujukan dan diskursus yang dilampauinya tanpa pikiran dan pengalaman. Sejalan dengan fantasi yang berada pada taraf penanda sebagai cara untuk melangkah kembali dalam ruang.
Demi memperoleh bentuk-bentuk yang belum terbentuk sedang berjalan ke depan.Â
Fantasi keluar dari representasi gambar partai politik (parpol) yang pernah ada. Bermain politik masih ada, sekalipun representasi dan simulasi siapa yang tertinggi peringkat (calon presiden dan calon legislatif). Ia muncul dan lenyap, setidaknya kita masih bisa bertahan hidup di antara diskursus yang membuat kata-kata, angka-angka atau huruf lebih hidup dibanding hanya berupa bayang-bayang.
Jelaslah dalam alur ini, fantasi bukanlah bayang-bayang yang ditempelkan di dalamnya kata-kata atau logika matematis yang memiliki daya pikat dalam kehidupan dan pemikiran. Â
Diskursus tentang pemilihan proporsional tertutup atau terbuka menjajal pilihan kita. Keduanya ditawarkan dalam ruang publik. Saling menetralkan antara satu dengan satu sistem pemilihan proporsional lainnya berdasarkan kelebihan dan kelemahannya.