Entah apa gerangan di benak Agus Sujatno di pagi itu. Dia bergeming, tidak buyar dari tempatnya beraksi.
Rasa keder dan kesal jauh darinya. Sejengkal pun tidak mundur ke belakang.
Langkah Agus Sujatno begitu nekat memasuki Mapolsek Astana Anyar, Bandung, 7 Desember 2022.
Beberapa meter di dekat TKP berdiri saksi saat sebelum ledakan bom terjadi.
Agus Sujatno masih tetap nekat seakan-akan keluyuran tanpa beban sedikit pun masuk ketika anggota Polsek sementara melaksanakan apel pagi. Agus Sujatno ngotot sekali untuk mendekati anggota Polsek.
Pelaku bersekukuh untuk mengayunkan langkah yang sempat ditahan oleh petugas.
Katanya, Agus Sujatno sempat pula mengacungkan sebuah pisau di tangannya sebelum terjadi ledakan. Boanggg. Bom tiba-tiba meledak. Satu anggota meninggal dari 10 orang polisi, ditambah satu warga sipil menjadi korban ledakan bom. Jadi, total korban, 11 orang.
Agus Sujatno nampak tidak lagi pamer-pamer acungkan pisau dan iseng-iseng main bom bunuh diri. Senjata tajam atau bom nampak diletakkan di sisi depan dan di belakang tubuhnya. Ini berdasarkan olah TKP oleh petugas berwajib.
***
Lagi-lagi aksi bom bunuh diri terjadi di tanah air. Desember 2022, suasana ceria menjadi kelabu dan mimpi buruk bagi warga.
Wajarlah, satu pertanyaan agak mengganggu.
Mengapa terorisme ingin berlangganan di hari-hari Nataru? Adakah angin surga meninabobobokkan kaum teroris saat momen perayaan hari raya agama?
Anda pak, bu tidak nyenyak tidur semalam gara-gara itu dan ini?
Mengapa dilampiaskan di simbol-simbol kuasa dan keagamaan? Apa kurang kerjaan? Begitulah sederet pertanyaan saya. Pertanyaan sepeleh ya.
Agus Sujatno, sang "kambuhan" mungkin wajahnya bengkok saat mendengar desas-desus atau kabar tentang negeri. Kekesalan yang menggumpal menjadi kenekatan yang mematikan.
Apa yang Anda inginkan, wahai kaum teroris? Apakah cuma bekal baca buku jihad dari guru Anda, lalu imajinasi untuk membunuh manusia tidak berdosa merasuki otak Anda, maka semua permasalahan dianggap sudah selesai?
Ingin disebutkan aksi teror dan terorisme lagi? Mulai peristiwa 9/11, Bom Bali I dan II, Bom Katedral di Makassar, dan sebagainya.
Lantas, semua aksi bom bunuh diri atau terorisme atas nama agama.
Lha, terorisme jualan agama bisa laris. Caranya? Doktrin mati-matian. "Cuci otak" dari orang dewasa hingga anak-anak demi melawan thagut alias produk sang zalim. Berbahaya bagi anti terorisme, tenang-tenang saja bagi kaum teroris.
Dasar Muslim. Dasar jingkrang, jidat hitam! Sekian umpatan-umpatan lainnya yang bernada menyakitkan. Itulah fakta-faktanya.
Saya kira, tunjukkan dong, jika kaum beragama mayoritas menjadi rahmat bagi sekalian alam, di negeri ini. Ada kawan yang suka lucu-lucuan. Nama rahmat dimainkan. Ini gegara "Rahmat" (maaf, kutipan nama orang), jadinya urusan beres atau tidak, bergantung padanya. Soalnya, bukan nama Rahmat. Maklum, karena agama mayoritas, pelaku teror kebanyakan bagus-bagus namanya, bernama Islam lagi.
Sumpah! Bukan namanya, tetapi perilakunya. Sama sekali tidak ada hubungannya antara terorisme dan agama. Terus apa? Salah paham atas teks agama atau khususnya dalil-dalil jihad atau perang (qital). Antara jihad dan perang berbeda 360 derajat. Cobalah tanya ke ustadz atau ulama yang mumpuni? Makanya, cara berpikir yang perlu ditata ulang.
Jika ada kekecewaan, cobalah tempuh cara yang lebih dialogis, bukan sedikit-sedikit merusak dan bom yang berbicara. Kitab suci suka berdialog dengan orang-orang yang pikirannya jernih dan berhati lapang. Bukan cara-cara kekerasan dan berwajah bengis.
Diakui, ada memang sebagian kalangan Muslim yang secara apologetis mencari-cari alasan "pembenaran," yang secara tidak sadar ingin mengetahui hingga "membenarkan" secara lahiriah dalam aksi bom bunuh diri dan bentuk aksi pengeboman lainnya.
Saya sependapat, jika umumnya pelaku terorisme "pintar," ahli, dan punya tugas yang berbeda.
Buktinya, Agus Sujatno jago merakit bom, sejenis bom panci. Dia berpengalaman dalam kasus bom. Tidak peduli, baru setahun atau bukan lepas dari penjara dalam kasus bom sebelumnya.
Yang penting dia "meledakkan kedalam diri" (bara egonya), terus "meledakkan keluar" bom bunuh diri di tempat yang telah ditentukan.
Sepintar-pintarnya merakit bom dan tahu siapa targetnya juga senafsu-nafsunya membunuh orang-orang tidak berdosa.
Saya yakin, selama orang-orang "mata kalap" melihat ketidakberesan dalam kehidupan, pemikiran, dan kebijakan, maka hasilnya pun "sekejap mata," karena mengambil "jalan pintas" alias aksi teror bom bunuh. Otomatis, usaha jadi sia-sia, fatal, dan konyol, malahan permasalahan semakin runyam, bahkan tidak ada ujung pangkalnya.
***
Berapa banyak ulama seantero dunia Islam yang memfatwakan penentangan atas terorisme.
Tetapi, mata hati jadi buram dan telinga "budek" dari kaum teroris, maka seruan kedamaian sejagat dan petuah agama tidak digubrisnya. "Merah jadinya, baru disebut udang." Ini ungkapan dari kampoeng. Yang terpenting ada korban atau tumbal aksi teror. Hancur-hancuran dan mayat bergelimpangan itu urusan ketujuh belas.
Sedangkan ulama berfatwa menolak dan mengutuk tindakan para pelaku terorisme yang berlabel Muslim ogah-ogahan, apalagi orang-orang yang tidak punya otoritas dan belum melek 24 karat kajian agama. Saya percaya, jika sudah tuntas dan secara bertahap, orang yang dulunya hanya paham agamanya sepotong-potong dan tersekat-sekat akan kembali pada pentingnya 'makna hidup' dirahi dalam kehidupan beragama.
Upaya ke arah sana memang berat, tetapi harus di mulai dari sekarang. Kapan dan siapa lagi.
Apakah hidup di dunia ini harus diakhiri dengan menantang maut? Apakah penolakan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan mesti diselesaikan ala teror bom bunuh diri?
Boleh jadi, sosok Agus Sujatno tidak suka selfie-selfian di depan ponselnya. Apalagi besar kemungkinannya dia tidak doyan nonton Yutub, TikTok atau Fesbukan, yang kontennya berupa hiburan bagi Gen Z dan kaum seleb. Tidak mustahil, Agus Sujatno suka baca kitab jihad, janji surga lewat bom bunuh diri atau apalah.
Dianggapnya sistem yang rusak. Getol pada sistem nabi. Padahal yang bermasalah adalah otak kaum teroris. Cara berpikir dan cara hidup dipukul rata, dimana tampilan zaman old mutlak sama dengan zaman now. Padahal, semua orang pada tahu, zaman telah berubah.
Cuma pemahaman dan penafsiran yang perlu diperbaharui, mengikuti zaman baru. "Dimana letak permasalahannya? Apanya yang keliru?" Hanya soal kebijakan saja dituduh sebagai bentuk kemungkaran.
Saya tidak berada di pihak siapa-siapa. Lantaran mendengar kemarin, jika ada lagi aksi bom bunuh diri di Bandung. Kaum teroris mungkin tidak kenal rasa lelah.
Tetapi, saya sudah jenuh membaca dan menyaksikan tindakan terorisme melalui media online. Sudahlah! Atau mungkin kita tidak ingin saling menggurui. Tentang apa itu agama? Tentang melawan kezaliman? Apa itu halal haram? Semua hal yang bernada normatif.
Jika kacamata hitam putih dipakai untuk menilai sesuatu, apa gunanya pertimbangan akal dan nurani. Dianggapnya aksi bom bunuh diri punya dalil yang benar. Tahu-tahunya mereka menggunakan "kacamata kuda" yang tidak punya persfektif lebih luas dan utuh dalam melihat dunia ini dan masa depan.
Saya tidak dalam posisi menyalahkan siapa-siapa. Saya juga tidak berada dalam pihak manapun. Kecuali, melihat sesuatu dari dalam diriku sendiri.
Ada yang absurd, ada yang tidak srek atau bahkan ada yang fatal dan nihil terhadap ihwal terorisme. Dalam pikiran dan hasrat diperhadakan dengan kaca cermin yang bening dan mulus.
Apa jadinya melihat diri dan terorisme dalam sebuah cermin yang retak dan kabur?
Adapun orang yang menganggap saya tidak punya girah dan gairah beragama. Tidak punya simpati pada perjuangan umat dan cenderung memojokkan kelompok garis keras. Semuanya itu, saya tidak akan membalas dengan ocehan, ngeledek hingga tidak akan ada ujaran kebencian dariku.
Saya berpikir atau belum berpikir apa-apa tentang terorisme. Saya sedang mulai dari sini, dalam persfektif yang lain.
Saya mungkin selama ini kurang tanggap melihat soal aksi bom bunuh diri ala Agus Suyatno secara sepintas saja. Tidaklah! Tidaklah demikian. Karena saya sendiri ngeupdate Global Terrorism Index (GTI), 2022. Indonesia berada diperingkat ke-24 dari 162 negara. Sekitar kurang dari lima tahun sebelumnya, Indonesia diperingkat ke-42. Apakah ini soal biasa-biasa saja atau main-mainan opini internasional lewat GTI, yang sebagian orang menyangka itu hanya  skenario dan dagangan Barat yang Islamopobia? Saya sendiri tidak menyangkal adanya. Kaum teroris itu ada dan nyata sebagaimana ketidakadilan global juga nyata.
Untuk itu, marilah kita bersama-sama menolak dan melawan terorisme? Mulai dari diri sendiri. Titik tolaknya sejak dari pikiran dan hasrat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H