kuasa disipliner dan netralitas aparatur sipil negara (ASN).
Sebagai bagian dari diskursus (wacana), maka Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), yang diperingati di setiap 29 November dalam hubungannya denganPilihan tulisan ini memang tidak terasa santai, karena susunan kata-kata atau kalimatnya ribet untuk dipahami.Â
Catatan kecil ini hanya untuk mengingatkan kembali bagaimana alotnya, jika tidak dikatakan sebatas tantangan tersendiri bagi ASN. Mengapa?
Sering terjadi dilema, terutama dalam pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) dihelat setiap lima tahun.Â
Ungkapan sederhananya, ASN maju kena, mundur kena dalam setiap peristiwa politik. Netralitas ASN, mudah-mudahan bukan 'semboyan' belaka.
Untuk kesenangan tulisan ini semakin terasa saat mendekati peristiwa politik. Terdapat dua pernyataan atau frasa yang berbeda, tetapi saling berkaitan antara satu dengan lain, yaitu "kuasa disipliner" dan "netralitas ASN" (dulu Pegawai Negeri Sipil/PNS). Ia mengalami perubahan nama akibat kuasa melalui regulasi yang diciptakannya.
Kuasa disipliner dalam kaitannya dengan rangkaian mekanisme, strategi, prosedur atau metode yang beroperasi pada pembentukan disiplin, baik secara individual maupun masyarakat.Â
Netralitas ASN dimaksudkan dalam pemilu atau pilkada dari satu masa ke masa berikutnya.
Pada era pasca-reformasi di Indonesia, birokrasi-pemerintahan modern termasuk didalamnya setiap aktivitas atau kerja individu merupakan produk dari mekanisme kuasa nampaknya tidak memusat, tetapi sebagai jaringan-jaringan yang tersebar di organisasi non pemerintahan dan masyarakat secara luas.
Dalam keserbaberagaman kuasa (negara, organisasi kemasyarakatan, media hingga sosok tokoh), dimana jaringan mekanisme-mekanismenya ditanam dan ditumbuhkan.
Bukan hanya melalui penghukuman, tetapi juga mekanisme pendisiplinan, dari pembatasan ke mekanisme pengawasan, dari pembebanan ke mekanisme pelatihan, ketidakpatuhan diambil-alih dengan pembinaan yang berlaku di setiap ASN.