"Hidup di bawah rezim Taliban seperti memiliki hubungan dengan kekerasan. Pada awalnya baik. Mereka mengumbar janji, mereka melangkah dengan hati-hati, mereka bahkan menepati beberapa janji. Tapi ketika Anda dibuai rasa aman yang palsu, di situlah mereka membuat perencanaan."
Kutipan cukup panjang di atas berasal dari salah seorang (nama dirahasiakan identitasnya) yang mengalami nelangsa di bawah rezim kuasa Taliban selama lima tahun (1996-2001).
Kini, klaim Taliban menguasai seluruh Afganistan.
Ibukota Kabul dan Istana Kepresidenan menentukan nasib mereka. Seakan-akan kehadirannya menelan kejamnya malam.
Saya ingat saat setahun pengambil-alihan Afganistan ke tangan Taliban, yang belum nampak tanda-tanda kehidupan yang maju dan sejahtera seperti yang diimpikan sebelumnya.
Alasannya, mereka mungkin lebih membutuhkan pekerjaan rumah jangka panjang akibat kerusakan material dan non material yang parah.
Masih ada jatuh korban yang tewas dari kaum minoritas di pusat keramaian.
Peristiwa maut di Afganistan seakan-akan menjadi pemandangan sehari-hari.
Korban berjatuhan dari pihak anak-anak, wanita, dan sekolah dikabarkan menjadi sasaran penghancuran.
Tetapi, Hell is‒other people! (Neraka adalah Orang Lain!), kata Jean Paul Sartre dalam No Exit and Other Play (1976: 47). Sekian puluh tahun kemudian, “Taliban pernah bawa ‘Keping Neraka’ ke muka bumi,” kata Buya Syafii. (cnnindonesia.com, 03/09/2021)
Sartre, filsuf besar Perancis, Buya Syafii sebagai salah satu pemikir arus utama Indonesia. Keduanya, tidak pernah bertemu dengan Taliban dan apa pentingnya juga.