Gemerlap seperti kupu-kupu di pagi hari yang cerah, para peserta wisuda bersinar pada hari pentabhisan mereka. Bukan sekedar jumlah yang banyak, para wisudawan adalah kelompok masal yang mendapat gelar akademis. Terhitung ada sekian puluh ribu diploma dan sarjana dikukuhkan setiap tahunnya di seluruh Indonesia. Angka yang luar biasa.
Institusi pendidikan tempat para sarjana dan diploma juga tidak kehilangan gemerlapnya pada moment ini. Sebuah keniscayaan jika seremoni pentabisan diatur sedemikian maksimal oleh lembaga agar tampak professional, glamour dan bisa menjadi indikator kedigdayaan lembaga bersangkutan.
Para sarjana dan diploma dicetak untuk menjadi sesuatu yang berharga di tengah masyarakat, sebuah kesimpulan klasik dari sekian banyak harapan universitas terhadap para lulusannya. Ini tampak membingungkan karena para sarjan dan diploma pada akhirnya memang berharga di tengah masyarakat sebagi sebuah pencapaian prestasinya secara pribadi dan kesuksesan pembiayanya. Setelah itu, persoalan klasik kembali terjadi, kebingungan.
Secara statistik, jumlah para lulusan terus bertambah setiap tahun berbanding lurus dengan fenomena kebingungan. Bingung mencari pekerjaan. Sayang sekali, para lulusan memang dipersiapkan untuk mengahadapi sebuahjenis pekerjaan spesifik tertentu, sesuai dengan jenis jurusan yang digelutinya. Paradigma yang terbentuk dalam diri para lulusan adalah paradigm siap pakai yang disalah artikan.
Siap pakai dipahami sebagai sebagai tersedianya tenaga professional yang siap bekerja pada sebuah posisi tertentu yang sesuai. Seperti baut dengan mur. Atau setidaknya, paradigma ini dipahami sebagai tenaga professional yang siap bekerja pada sektor-sektor yang pantas untuk lulusan dengan gelar akademis tertentu. Jarang ada yang berpikir bahwa siap pakai berasumsi pada kemampuan untuk beradaptasi dengan konteks kerja yang tidak bisa diprediksi, kreatifitas untuk bisa cocok di jenis pekerjaan yang berbeda-beda bahkan terjun dan terlibat langsung dalam pekerjaan-pekerjaan yang tidak biasa dalam struktur sosial masyarakat.
Namun kenyataan yang berbicara melalui para lulusan menunjukan lembaga pendidikan tidak lain sebuah lembaga yang mencetak diploma dan sarjana. Lembaga pendidikan gagal menciptakan para innovator yang kreatif, dan pekerja keras dan disiplin. Lembaga pendidikan masih berkutat pada angka lulusan yang bisa dihasilkan setiap tahun bukan pada kualitas inovasi yang dihasilkan dari para lulusan.
Sangat disayangkan jika kondisi ini terus saja dipertahankan. Paradigma baru sudah saatnya diterapkan. Persaingan yang semakin ketat dalam dunia kerja hendaknya menjadi pemacu bagi lembaga pendidikan untuk menciptakan cara baru bukan sekedar pencari cara baru yang lebih efektif dalam penciptaan para lulusan yang inovatif. Itu berarti lembaga pendidikan harus bisa menjadi universitas yang inovatif. Para mahasiswa tidak saja lulus sebagai sarjana atau diploma yang professional di satu bidang, tetapi sekaligus menjadi inovator yang handal dalam bidang yang dikuasainya serta mampu beradaptasi terhadap berbagai perubahan dalam kehidupan yang mengharuskan lompat jalur dari apa yang sudah dikuasainya. Penting bagi Indonesia untuk memiliki para sarja dan diploma yang professional dalam bidangnya sekaligus professional dalam permainan hidup.
*Tulisan ini merupakan tulisan di blog saya IDE4ID Januari 2013 lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H