Pagi tadi di grup WA kedinasan sekolah, salah seorang rekan guru memforward sebuah renungan tentang arti pembiasaan.Â
Renungannya dikemas dalam bentuk cerita tentang seseorang yang akan melakukan tes wawancara kerja. Si tokoh utama dikisahkan lahir di sebuah keluarga yang sangat mementingkan disiplin atau keteraturan. Bisa membayangkan bagaimana orang yang berkepribadian melankolis? Ya, seperti itulah kira-kira.
Dengan segala keteraturan itu, tokoh utama akan segera diingatkan jika teledor menyimpan sesuatu atau lupa melakukan sesuatu, hingga hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang melekat; mematikan lampu sebelum tidur, mematikan televisi jika tidak digunakan, meletakkan barang pada tempatnya dan lain sebagainya.Â
Namun, meskipun keteraturan sudah menjadi kebiasaannya, diam-diam ia menyimpan kekesalan. Ia bosan diingatkan terus menerus untuk melakukan ini dan itu. Dalam hati ia berjanji akan segera keluar rumah begitu ia diterima kerja dan mendapatkan penghasilan darinya.
Singkat cerita, tokoh utamapun tiba di tempat wawancara. Ia yang terbiasa melihat segala sesuatu rapi dihadapkan pada situasi sebaliknya. Hati kecilnya sempat meradang. Ia ingin sekali berjalan tanpa peduli gerendel pintu gerbang yang tidak dikaitkan, melewati selang air yang menjulur menghalangi jalan, bahkan karpet yang terlipat di pintu masuk ruang wawancara, tapi entah kenapa ia tidak bisa.Â
Kebiasaan bertahun-tahun itu membuat nuraninya meronta, suara orang tuanya terngiang di telinga jika ia memutuskan untuk tetap melangkah begitu saja. Maka demi menenangkan hatinya, iapun dengan sigap membetulkan segala sesuatu yang ia lihat tidak pada tempatnya itu.Â
Dan ajaibnya, begitu memasuki ruang wawancara, ia langsung ditanya kapan siap kerja oleh pewawancara. Ternyata sepanjang jalan menuju ruang wawancara terdapat CCTV yang diawasi langsung oleh tim seleksi.
Kisah ini tentu saja tidak mengajari kita untuk mengabaikan kompetensi. Kita anggap saja tim seleksi sudah membaca tuntas portofolio para pelamar kerja sehingga mereka tinggal mengonfirmasi karakter dengan sejumlah tantangan yang dikondisikan.Â
Dan kita ketahui dalam kisah, tantangan tersebut bisa diatasi oleh si tokoh utama.
Tentu saja, si tokoh utama yang pada mulanya merasa kesal dengan sejumlah pembiasaan yang diterapkan di rumahnya kini merasa bersyukur. Apa yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya kini memetik hasil, setelah masa tahunan berlalu, setelah ia begitu lama merasa terpaksa menjalani kebiasaan baik yang ternyata sangat dibutuhkan baginya di dunia kerja.
Kisah ini cukup inspiratif, mengajarkan kita untuk bersabar melakukan sebuah kewajiban meskipun kita belum memahami manfaat dan sekalipun kita merasa malas menjalaninya.Â