Mohon tunggu...
Erma Mardiyyah
Erma Mardiyyah Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pecinta Baca

Seorang Guru di rumah dan di sekolah. Berharap untuk bisa menjadi bagian dari umat terbaik dengan terus belajar dan berdakwah

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

My Super Prof, Pak Ki Supriyoko

8 April 2022   19:36 Diperbarui: 8 April 2022   19:38 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hari jum'at jam terakhir adalah 80 menit yang penuh ujian bagiku sebagai seorang guru. Pasalnya, di kelas khusus itulah keahlianku sebagai guru benar-benar diuji. Bukan, bukan karena aku mengajar di kelas khusus dalam artian cerdas. Bagiku, lebih mudah mengajar mereka yang mendapat karunia lebih dalam intelektual ketimbang mereka yang belum diketahui jenis kecerdasan dan bakatnya. Di kelas abu-abu ini -- begitu aku menyebutnya- , banyak siswa yang nyentrik dan memicu amarah. Maka, setiap kali hendak memasuki ruangan kelas, aku selalu menyempatkan diri untuk menarik nafas dan berdo'a... khusus. Tapi hari ini, moodku sedang tidak mau diajak kompromi. Jangankan mengajar di kelas tersebut, di kelas lain pun malas mendera. Sakit gigi yang belum tuntas sembuh menuntutku untuk istirahat di rumah. Baru saja keinginan itu muncul saat bel istirahat habis bergema dan aku hendak melangkahkan kaki untuk pulang, ingatanku tertarik pada satu orang di satu masa. Beliau My Super Prof, Pak Ki Supriyoko.

5 tahun yang lalu, ketika aku sedang menempuh pendidikan s2, tiga pekan berlalu begitu saja untuk mata kuliah statistik, mata kuliah yang sangat kami nantikan bukan karena kami berminat kepada statistik --sebab kebanyakan dari kami lebih cenderung untuk menulis tesis kualitatif-, tapi lebih karena profil sang Profesor. dengan gaya mengajarnya yang khas; tegas, mudah dipahami, tapi tak kehilangan sisi humoris yang menjadikan statistik tidak begitu berat di otak kiri. Selain itu, kepribadian beliau juga cukup membuat kami kagum. Kedisiplinannya membuat kami para mahasiswanya untuk hadir lebih awal di kelas meski beliau tak pernah memberi sanksi. Kehadiran beliau yang selalu lebih awal hadir cukup membuat kami tahu diri. Dan, dalam tiga pekan itu belum pernah kami merasa rindu kepada dosen seperti kepada beliau itu.

Pada pekan keempat beliau menghubungi salah seorang dari kami agar kami mampir ke rumahnya. Di sana kami disiapkan sebuah ruangan kelas --kebetulan beliau memimpin sebuah sekolah untuk anak-anak cerdas tetapi kurang mampu- dan diberi jamuan. Sungguh mengejutkan, dalam kondisinya yang tengah sakit dan tak mampu bersuara, beliau memaksakan diri untuk menyampaikan empat pertemuan statistik tanpa berbicara, melainkan melalui perantaraan layar LCD. Beliau menjelaskan dengan cara menulis di laptop dan melakukan tanya jawab dengan cara yang sama. Luar biasanya, tanpa kehilangan gaya mengajarnya yang enjoy dan humoris. Mengejutkan lagi, kami dibuatnya memahami materi meski tak ada satu pun suara keluar dari mulutnya.

Peristiwa itu menjadi satu catatan istimewa yang terpatri kuat dalam memoriku, karena aku tak pernah ingin melupakannya. Darinya aku belajar arti ketulusan untuk menyampaikan ilmu seberapapun sulitnya kondisi. Tentang arti sesungguhnya menjadi seorang guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Meski kami tak mangamalkan statistik yang beliau ajarkan pada penelitian, kami selalu mengingatnya sebagai super Prof, karena beliau mengajar lebih dari statistik. Kepribadiannya menjadi ilmu berharga dalam kehidupan kami.

Kenangan tentang beliau menyurutkan langkahku untuk pulang. Bagaimana mungkin hanya karena kurang mood aku memutuskan untuk absen mengajar. Ya, mungkin murid-murid di jam terakhir itu tidak selalu mengerti materi yang kusampaikan. Tapi bukankah banyak hal yang bisa kuajarkan selain menjejali mereka dengan materi seperti yang Pak Ki Supriyoko contohkan kepada kami, sebagai sosok yang dapat diteladani ketulusan dan kesabarannya. Barangkali mereka tak memahami pelajaranku saat ini, namun mungkin kelak dalam perjalanan hidup mereka yang terbentang panjang. Ingatan inilah yang kemudian menyadarkanku untuk menarik langkah kembali kepada murid-muridku --yang entah menungguku atau tidak-.

*tulisan ini dipersembahkan untuk dosen yang sangat saya kagumi, Pak Ki Supriyoko; yang tetap menginspirasi di tengah kondisinya yang sedang sakit. 

*tulisan dibuat pada tahun 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun