Mohon tunggu...
Erma Diah Putri Nugrahanti
Erma Diah Putri Nugrahanti Mohon Tunggu... Lainnya - Head Marketing

pengalaman lebih dari 5 tahun dalam merancang dan mengimplementasikan strategi pemasaran digital dan tradisional. Berfokus pada pengembangan merek, analisis pasar, serta optimalisasi kampanye untuk meningkatkan penjualan dan brand awareness. Terbiasa bekerja dengan tim kreatif dan analitik untuk mencapai tujuan bisnis secara efektif. Passionate terhadap tren pemasaran terbaru dan inovasi teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dinamika dan Tantangan Pendidikan di Indonesia pada Era Konteporer

18 Januari 2025   14:19 Diperbarui: 18 Januari 2025   14:19 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

          Fenomena pendidikan di Indonesia saat ini mencerminkan berbagai dinamika kompleks yang dapat dianalisis melalui lensa teori postmodernisme. Dalam pandangan postmodern, pendidikan tidak lagi dianggap sebagai alat tunggal untuk membentuk individu sesuai dengan narasi besar seperti pembangunan nasional atau modernisasi, melainkan sebagai arena di mana berbagai narasi kecil saling bersaing untuk mendefinisikan makna pendidikan itu sendiri. Jean-Franois Lyotard, misalnya, menjelaskan bahwa dalam masyarakat postmodern, otoritas metanarasi mulai memudar, digantikan oleh pluralitas narasi yang lebih lokal dan terfragmentasi. Dalam konteks pendidikan Indonesia, hal ini terlihat pada upaya untuk mengintegrasikan keberagaman budaya, bahasa, dan kearifan lokal ke dalam kurikulum, meskipun tantangan seperti dominasi standar nasional sering kali membatasi ruang narasi lokal tersebut.


          Salah satu fenomena utama yang relevan dengan postmodernisme adalah kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Dalam perspektif postmodern, ketimpangan ini menunjukkan bagaimana distribusi sumber daya dan akses terhadap pendidikan bergantung pada kekuatan narasi tertentu---misalnya, narasi pembangunan yang sering kali lebih terpusat di wilayah perkotaan. Narasi besar tentang modernitas ini, seperti yang dikritik Lyotard, sering kali mengabaikan keberagaman kondisi sosial, ekonomi, dan geografis masyarakat Indonesia. Akibatnya, daerah terpencil sering tidak mendapatkan perhatian yang memadai dalam kebijakan pendidikan nasional.


          Pandemi COVID-19 juga dapat dianalisis sebagai peristiwa postmodern, di mana adopsi teknologi pembelajaran daring menciptakan "simulakra" sebagaimana dijelaskan oleh Jean Baudrillard. Proses belajar yang berlangsung secara virtual sering kali menggantikan pengalaman belajar langsung di ruang kelas, menciptakan realitas baru yang bersifat digital. Namun, simulasi ini tidak merata karena kesenjangan digital yang tajam. Bagi siswa di daerah terpencil atau dari keluarga kurang mampu, pembelajaran daring menjadi representasi realitas pendidikan yang tidak terjangkau, memperparah ketimpangan yang sudah ada.
Selain itu, Kurikulum Merdeka yang mulai diterapkan di Indonesia mencerminkan semangat postmodern dalam mendekonstruksi pendekatan pendidikan yang seragam dan terpusat. Kurikulum ini memberikan fleksibilitas kepada sekolah untuk menyesuaikan proses belajar dengan kebutuhan siswa, menekankan pada pembentukan kompetensi abad ke-21 seperti berpikir kritis dan kreativitas. Namun, sebagaimana ditekankan Derrida dalam konsep dekonstruksi, implementasi Kurikulum Merdeka tetap menghadapi tantangan, terutama dalam mengatasi struktur lama yang masih dominan, seperti sistem evaluasi berbasis ujian nasional.


           Teknologi pendidikan, seperti platform pembelajaran daring yang dikembangkan oleh startup edtech Indonesia, juga dapat dilihat sebagai manifestasi dari pluralitas narasi dalam pendidikan. Platform ini memungkinkan siswa untuk mengakses sumber belajar yang lebih beragam, sekaligus menciptakan peluang bagi mereka untuk membentuk pengalaman belajar yang lebih personal. Namun, keberhasilan inovasi ini tetap bergantung pada kemampuan masyarakat untuk memahami dan mengelola narasi-narasi kecil yang muncul dari berbagai sumber belajar tersebut.


           Melalui analisis postmodern, fenomena pendidikan di Indonesia tidak hanya dipandang sebagai masalah teknis atau struktural, tetapi juga sebagai proses sosial yang melibatkan perebutan makna, kekuasaan, dan identitas. Dalam konteks ini, upaya meningkatkan kualitas dan akses pendidikan harus mencerminkan pluralitas kebutuhan, aspirasi, dan potensi masyarakat Indonesia yang beragam. Dengan demikian, pendekatan postmodern dapat membuka ruang bagi transformasi pendidikan yang lebih inklusif, adil, dan relevan dengan tantangan era kontemporer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun