Mohon tunggu...
Reinard L. Meo
Reinard L. Meo Mohon Tunggu... Freelencer dan relawan sosial -

Pemuda baik-baik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Pancasila Berjumpa Globalisasi

31 Januari 2019   14:38 Diperbarui: 31 Januari 2019   15:01 4085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar: Siedoo)

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 73 tahun silam, merumuskan dan menetapkan Pancasila sebagai basis negara RI. Sejak saat itu, Pancasila dijadikan sebagai sumber hukum, dasar negara, baik tertulis (UUD 1945) maupun yang tidak tertulis. Sungguh sebuah momen historis yang amat menentukan ziarah bangsa hingga ini, hingga hari-hari ini.

Dalam kaitannya dengan sistem hukum dan sistem norma hukum, Pancasila diposisikan oleh para fundatores negara ini sebagai ideologi, cita-cita dasar, dan mahasumber hukum (sumber dari segala sumber hukum) NKRI. Hal ini menutup berbagai kemungkinan menyusupnya unsur-unsur atau pengaruh-pengaruh lain yang dapat menggerus nilai-nilai Pancasila. Karena itu, pemerintah perlu menegaskan eksistensi Pancasila itu sendiri. Usaha seperti ini sangat perlu dan penting mengingat potensi bahaya yang muncul. Realitas plural dalam kehidupan bersama kita sebagai sebuah bangsa, menuntut adanya suatu nilai tertinggi yang mampu mempersatukan dan mengikat. Melihat realitas seperti ini, maka hemat saya, para fundatores negara tepat ketika menjadikan Pancasila sebagai dasar negara.

Dalam lika-liku ziarah bersama waktu, usaha untuk merong-rong eksistensi Pancasila selalu bermunculan, dalam rupa-rupa bentuk dan modus. Tantangan seperti ini membuat Pancasila terus teruji. Semakin ditantang, Pancasila pun semakin kokoh dan kuat. Pancasila hanya akan tetap mantap jika dan hanya jika setiap komponen bangsa terus berusaha untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya Pancasila. Nilai-nilai dasar Pancasila bersifat universal dan merangkum semua, karena itu mesti terus dipertahankan.

Sebagai dasar negara, Pancasila tidak bersifat statis. Ia selalu hidup dan dinamis. Hal ini memungkinkan Pancasila dapat dengan baik mengikuti perubahan zaman atau globalisasi. Namun di sini, globalisasi tidak mendikte Pancasila, tetapi bahwa Pancasila menyediakan dasar bagi masyarakat atau negara untuk bisa mengikuti perkembangan zaman dengan baik. Di sini juga Pancasila dapat menjadi semacam nilai-nilai, darinya masyarakat bisa mendapat pedoman bagaimana caranya hidup bermasyarakat dengan realitas plural di tengah globalisasi. Dengan ini, kita tidak akan merasa syok atau tercerabut dari budaya atau nilai-nilai dasar kita, berhadapan dengan invasi budaya dari luar oleh sebab pengaruh globalisasi. Dalam konteks ini, Pancasila tidak akan pernah bentrok atau menolak globalisasi. Inilah sifat dinamis Pancasila. Karena itu, Pancasila disebut sebagai ideologi yang terbuka.

Gagasan Pancasila sebagai ideologi terbuka itu sendiri berkembang sejak tahun 1985, tetapi semangatnya sudah berkobar sejak Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara. Hal ini memungkinkan diterapkannya sistem demokrasi dalam pemerintahan. Maka dari itu, sebagai ideologi terbuka, Pancasila adalah yang paling tepat diterapkan dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia ini.

Sebagai ideologi terbuka, Pancasila memungkinkan terakomodasinya nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat seperti, Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Pada dasarnya, nilai-nilai tersebut adalah sesuatu yang in se dalam masyarakat Indonesia. Dengan dijadikannya Pancasila sebagai ideologi terbuka, nilai-nila tersebut mendapat perhatian yang istimewa. Hemat saya, hal ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan bahwa Pancasila sebagai paham kebangsaan mesti memuat segala hal yang menjadi kekhasan masyarakat. Artinya, Pancasila tidak mengimpor nilai-nilai dari luar untuk ditanamkan dalam masyarakat Indonesia, tetapi ia mengangkat nilai-nilai yang sudah ada di dalam masyarakat dan menjadikannya sebagai sesuatu yang khas Indonesia. Keindonesiaan kita, karena itu, juga sangat kental karena nilai-nilai tersebut. Namun, nilai-nilai tersebut akan tinggal tetap bila tidak dihidupi oleh warga negara. Nilai-nilai tersebut hanya akan menjadi 'gudang nilai' jika tidak menjadi ciri khas setiap pribadi masyarakat Indonesia.

Peminggiran akan hal-hal tersebut membuat Indonesia menjauh dari cita- cita dan semangat keindonesiaannya. Bila ini terjadi, tidaklah heran, di mana-mana kita menyaksikan bangkitnya fundamentalisme agama, korupsi yang kian masif baik di kalangan penyelenggara negara (tingkat atas) maupun di tingkat masyarakat akar rumput, aksi kekerasan yang semakin meresahkan masyarakat, pengambilan kebijakan yang membuat masyarakat tetap bergelut dengan masalah kemiskinan, ujaran kebencian, hoaks, dan sebagainya. Selain itu, sebagai ideologi terbuka, Pancasila juga memiliki nilai instrumental untuk melaksanakan nilai dasar, seperti UUD 1945, UU, Peraturan-peraturan, Ketetapan MPR, atau DPR. Di sini Pancasila menjadi sumber darinya pemerintah atau masyarakat dapat melaksanakan atau mengaktualisasikan segala peraturan yang ada. Dalam konteks ini, pelaksanaan sebuah peraturan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila. Katakan saja, masyarakat dengan mayoritas agama tertentu tidak boleh mengklaim diri sebagai yang paling benar, yang lain disingkirkan. Kasus penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Lombok dan Madura yang hingga kini tidak jelas penyelesaiannya, hemat saya, terjadi karena nilai-nilai Pancasila belum dijadikan sebagai pedomaan bagi masyarakat dalam hidup sehari-hari.

Pancasila juga memiliki nilai praksis, karena begitulah ideal sebuah nilai. Artinya, cara hidup dan pandangan hidup masyarakat dapat menunjukkan suatu penghayatan atas nilai-nilai Pancasila. Nilai praksis akan nyata dalam realitas hidup sehari-hari. Suatu nilai tanpa praksis adalah kosong, tanpa makna. Suatu nilai hanya akan terasa kalau kelihatan buahnya. Buah yang baik karena itu berasal dari pohon yang baik. Karena itu, nilai-nilai Pancasila hanya akan hidup kalau sudah menjelma dalam praktik hidup yang nyata.

Dalam konteks globalisasi dewasa ini, yang diwarnai oleh multikulturalitas, keterbukaan ideologi Pancasila juga termasuk keterbukaan dalam menerima unsur-unsur budaya asing, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila (Kaelen, 2002). Masuknya budaya dan nilai-nilai asing akan membuat Pancasila semakin teruji. Hal ini sangat mungkin dengan melihat kenyataan bahwa suatu budaya atau nilai akan teruji kevalidannya kalau tahan terhadap nilai-nilai yang lain. Nilai yang tahan uji niscaya akan tetap hidup dan bertahan. Dalam konteks inilah, Pancasila akan menunjukkan jati dirinya.

Perjumpaan Pancasila dengan globalisasi akan menghasilkan masyarakat lokal yang berpikir global dan bertindak lokal. Selain itu, perkawinan antara keduanya akan mendamaikan globalitas dan lokalitas. Dalam konteks seperti ini, nilai-nilai Pancasila dapat menjadi 'hidangan' yang siap disantap oleh warga negara lain. Maka, Pancasila pun tidak sekadar menyediakan nilai bagi masyarakat Indonesia sendiri, tetapi juga bagi masyarakat internasional. Ciri keindonesiaan kita pun (seperti masyarakat yang kental dengan semangat ke-Tuhanan, pluralitas keagamaan, kemanusiaan atau sosialitas/persatuan yang tinggi, praktik demokrasi) akan semakin kental. Kenyataan seperti ini tentu dapat mengharumkan negara Indonesia di mata dunia.

Sebagai dasar negara yang mengedepankan nilai-nilai universal, Pancasila dimungkinkan bebas dari sekat-sekat atau batas-batas budaya dan bangsa. Artinya, Pancasila tidak sekadar menjadi nilai bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga bagi semua orang. Dalam konteks ini, Pancasila menjadi rumah bagi semua orang. Di sini Pancasila dapat menjadi ikon, darinya semua orang dari berbagai penjuru dunia dapat menimba kekuatan bagi dirinya sendiri maupun bagi suatu kehidupan bersama. Karena itu, sebagai masyarakat Indonesia kita mesti berbangga memiliki Pancasila. Kebanggan itu mesti terungkap dalam tiap cara hidup seperti toleransi dalam hidup beragama, menjauhi sikap barbarisme (kekerasan), menekan makin maraknya ujaran kebencian, mengoptimalkan akal sehat untuk meredam hoaks, mematikan ego kelompok, membawa kembali politik ke tujuannya sebagai yang memungkinkan bonum commune,menjamin HAM, serta tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.***

 -Reinard L. Meo

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun