"Kali ini, saya ingin sedikit berbagi pengalaman dengan para penulis, tepatnya penulis pemula."
Halloo, Kawan-kawan Kompasianers dan pembaca pada umumnya. Apa kabar? Sekiranya kita semua sedang dalam keadaan yang mantap, keren, dan siap tempur, di tengah kepungan hoaks dan masih banyak perkara lumrah lainnya dalam hidup yang fana ini.
Apakah saya sudah terlihat sebagai (semacam) kepala desa yang memulai pidatonya? Hehehe...
Well, apa yang Anda hadapi ini, tepatnya baca sih, adalah bukan sebuah catatan jurnalistik yang serius. Judulnya berlebihan dan sok-sok formal yah? Ckckckckck.. Yang sedang Anda pelototi sambil mulai mual ini adalah sebuah sharing -- karena curhat kedengarannya terlalu cengeng dan rada-rada melankolis gitu. Eaaaa...
Kita mulai saja. Pengantar yang membosankan, bagi saya, adalah ciri pertama tulisan yang buruk, karena judul sudah diselamatkan oleh nasihat bijak itu: don't judge a book by its cover. Padahal kalau cover-nya buruk, judge aja, beli pakai uang gue, kan?
Baca juga : Diskusi TMW: Bentuk Baru Media Massa
Ughhhh, mulai panjang lagi.
Baik. Sudah kita ketahui bersama, makin hari, makin banyak media yang bermunculan. Di musim-musim politik macam kini, yang kita sebut media partisan itu memang munculnya tak tanggung-tanggung, meski selepas itu hilang ke entah.Â
Penulis-penulis pun terus lahir: penulis lama atau tua yang kembali menulis, atau penulis-penulis pemula yang merasa, "Wahh, jadi penulis itu keren!", meski nggak juga sih. Iya kan?
Kali ini, saya ingin sedikit berbagi pengalaman dengan para penulis, tepatnya penulis pemula. Sebab, siapalah saya sampai-sampai harus melakukan ini terhadap penulis-penulis senior dengan jam terbang di atas rata-rata? Juga bukan untuk para pengelola media, sebab, saya yakin: you bikin media, artinya you sudah oke!