Judul Buku: Tamasya Kota Pernia
Penulis: Toni Lesmana
Penerbit: Basabasi
Cetakan: Pertama, Februari 2018
Tebal: 226 Halaman
ISBN: 978-602-61246-0-9
Kumpulan cerpen Tamasya Kota Pernia ini merupakan karya kumpulan cerpen Toni Lesmana yang ketiga. Diterbitkan pada tahun 2018, cerpen-cerpen yang ada di dalam buku ini rupanya telah ditulis Toni dari 2009 hingga 2016. Secara keseluruhan, cerita-cerita yang ditulis dalam buku ini merupakan cerita yang aneh dan tak waras. Tapi, jika diteliti lebih lanjut lagi, setiap cerita memiliki makna yang relevan dengan kehidupan kita di zaman yang modern ini.
Tamasya Kota Pernia memiliki dua bagian yang berbeda. Bagian pertama diberi judul Tamasya Kota Pernia yang ada pada bab 1 sampai 9, dari halaman 10 sampai 94, dan berisikan sembilan cerita pendek. Bagian pertama ini bercerita tentang perilaku dan situasi sosial manusia di abad 21. Dimana teknologi sudah semakin maju hingga bisa menggantikan eksistensi seorang manusia. Dimana orang-orang semakin sibuk bekerja pun mereguk keuntungan demi bisa bertahan di dunia yang kapital hingga mereka tak lagi peduli untuk bersosialisasi. Sebuah realitas dimana semakin zaman berkembang, semakin rendah pula kualitas moral dan spiritual manusia. Pembunuhan, mabuk-mabukan, pergaulan bebas, tak lagi jadi hal yang segan untuk dilakukan.
Sedangkan bagian yang kedua diberi judul Dongeng Hutan Kesedihan yang berisikan empat belas cerita pendek, pada bab 10 sampai 23, dari halaman 96 sampai 221. Pada bagian ini diceritakan kembali dongeng-dongeng daerah yang sering kita dengar di masa kecil, namun dikemas dalam versi Toni sendiri. Dongeng-dongeng tersebut menceritakan tentang kesedihan, dan lebih dari itu cerita-cerita di bagian dua ini juga berbicara tentang kesepian.
Kumpulan cerita pendek Tamasya Kota pernia ini memiliki cerita-cerita yang akan membuat kita larut ketika membacanya. Toni sendiri mengatakan bahwa saat ia menulis cerita-cerita dalam buku ini, seolah dialah yang dituntun oleh cerita, bukannya dia yang mengontrol cerita tersebut. Maka dari itu, saat membacanya kita serasa masuk ke pikiran kita sendiri. Cerita-cerita di sini juga menguak sisi-sisi paling gelap yang ada pada pikiran manusia, pun menyadarkan kita bahwa sebenarnya manusia adalah makhluk yang kesepian, makhluk yang selalu merindukan sesuatu di saat dirinya dikelilingi oleh banyak hal.
Namun, gaya bahasa yang dipakai mungkin kurang bisa dipahami oleh orang awam apalagi yang baru mau mulai membaca sastra. Diksi yang dipilih oleh Toni sebenarnya sudah sedeharna, tapi dalam menuliskan ceritanya ia memakai konotasi-konotasi yang sulit dimengerti. Selain itu, banyak sekali ditemukan kalimat-kalimat yang rumpang dan tidak sesuai dengan ejaan Bahasa Indonesia. Kendati begitu, kalimat-kalimat rumpang itu digunakan untuk menambah 'efek' ke dalam cerita ketika dibaca oleh seseorang. Maka dari itu, langkah ini terdengar salah walaupun sebenarnya cukup genius. Karena, dalam sastra, untuk mencapai suatu 'efek' pada pembaca, cara ini halal saja dilakukan oleh banyak penulis sastra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H