Komik atau dikenal dengan cerita bergambar (cergam) memiliki image tersendiri di benak masyarakat Indonesia pada umumnya. Image atau persepsi bahwa komik merupakan bacaan khusus anak – anak. Seakan membuat komik memiliki batasan umur, ia menjadi buku bacaan masa lalu, yang akan timbul sepintas kenangan masa kecil ketika orang dewasa melihat dan membaca ulang. Seperti juga berkata, “kalau sudah gede ya jangan baca komik donk”. Komik selain menyuguhkan gambar ia juga terdiri dari teks atau narasi yang berfungsi sebagai penjelas dialog, dengan alur cerita yang ringan serta gambar – gambar penuh imajinasi, menjadi alasan komik di Indonesia identik dengan “anak-anak”.
Adanya persepsi tersebut mempengaruhi segmentasi pasar bagi penerbit, juga kebebasan bercerita dan menggambar komikus lokal. Dilain sisi ingin menghadirkan cerita action, romance, horror, fantasi, dll, seperti layaknya novelis yang bebas bercerita. Namun disisi lain, ada penerbit yang membatasinya dengan kandungan isi petuah di dalamnya, dimana hal tersebut merupakan misi keberhasilan penjualan. Persepsi masyarakat terhadap komik ini justru berkebalikan dengan bacaan novel. Novel lebih identik dengan bacaan orang dewasa.
Ketidak jelasan segmentasi atau kesalahan pnenafsiran orang tua terhadap komik ya? Sedikit bercerita, saat itu saya sedang di suatu toko buku di daerah Yogyakarta, disana saya melihat dan mendengar berbincangan ibu kepada anak. Dalam perbincangan tersebut ibu menyarankan anak membaca komik karena si anak masih kecil. Dari sampul yang saya lihat, komik yang di sarankan tersebut adalah komik Naruto. Padahal, komik Naruto adalah komik remaja, dan anak itu dari perawakannya bukanlah kategori “remaja”. Semua di pukul rata, semua komik ya untuk anak-anak. Padahal dalam komik sendiri ada klasifikasi pembaca, seperti halnya juga film. Yang orang tua harusnya paham hal seperti itu.
Selain image komik yang demikian, maraknya kemunculan komik-komik asing yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, akhirnya menggeser popularitas komik Indonesia itu sendiri. Masalah kualitas profesionalisme, promosi dan distribusi, sering kali menjadi pokok perdebatan ketika mendiskusikan masalah tersebut. Oleh karenanya, komik yang harusnya sebagai industri berjangka panjang dan potensial itu, hampir tidak menjadi bagian strategi masa depan oleh komikus dan penerbit Indonesia.
Di Jepang, perkembangan komik sangatlah cepat dan kondusif, karena ditunjang oleh pengadaan buku kompilasi yang didukung para komikus muda dan tua, serta style gambar yang sudah mengarakter yaitu Manga. Sementara di Indonesia hanya beberapa penerbit besar saja yang mau menerbitkan dan menjual itu ke publik. Komikus susah sekali menembus penerbit sehingga banyak website semacam ngomik.com menampung kreativitas para komikus muda Indonesia. Disana siapapun bisa mempublish komik karyanya, memperkenalkan karyanya dengan gratis. Selain apresiasi penerbit yang minim tersebut, selanjutnya mengenai style gambar komikus Indonesia. Kebanyakan style gambar dalam komik Indonesia masih di pengaruhi oleh komik luar, terutama komikus mudanya, mereka mengikuti mainstream manga Jepang. Bukan hanya segmentasi dan gaya gambar yang menurut saya masih tidak jelas, di situ terlihat seolah tidak adanya kejelasan karakter yang menjadikan komik Indonesia di kenal, karakter yg menjadi Indonesia banget. Bahkan seringnya saya menjumpai fenomena nama komikus Indonesia yang disamarkan dengan nama ke-Jepang-an. Ada apa dengan nama Indonesia?
Kemudian dari segi cerita, kebanyakan komik Indonesia masih mengutamakan petuah-petuah verbal ini itu. Pesan yang ingin disampaikan juga terlalu hitam putih, ingin menghadirkan samangat lokal, namun dibuat-buat. Hal tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pembaca dewasa dan membosankan bagi anak-anak. Saat ini anak-anak memiliki dinamika yang berbeda dengan yang dimiliki oleh orang tua. Dahulu komik seperti “Mahabarata” yang penuh ajaran mulia, cerita-cerita superhero sejarah yang hebat, kuat, baik hati dan mulia, boleh sangat disukai, bahkan pernah mencapai kejayaan dengan penjualan yang sangat mengagumkan. Namun dengan kedatangan tamu baru dunia per-komik-an di tahun 90-an yaitu komik Jepang, menyisihkan anggapan “menarik” tersebut. Dimana komik pendatang baru ini selain menghadirkan style gambarnya yang berbeda, juga tidak melupakan pesan moral, petuah yang tersirat, dipadukan dan di kemas dalam cerita fantasi. Imajinasi pembaca seolah digiring keluar dunia nyata, contoh komik Bleach. Jepang merepresentasikan budayanya di komik tersebut. Masashi Kishimoto menciptakan karakter Naruto dengan semangatnya yang tak pernah luntur, dengan latar belakang isi kehidupan sehari-hari yang tidak ada dikehidupan nyata, namun lagi-lagi dari itu Jepang menyiratkan pesan moral yang merepresentasikan kebudayaannya. Dari situlah komiker Indonesia sedikit demi sedikit mengenali budaya Jepang. Serta komikus yang notabene adalah komiker juga terpangaruh oleh style gambarnya. Kita bisa mengenal budaya dan memperkenalkan kebudayaan melalui komik, namun komik Indonesia seakan mati suri, dan komikernya pindah kelain hati.
Strategi penerbit, kreativitas komikus dan tanggapan komiker menciptakan dinamika yang mendukung suburnya dunia komik saat ini. Komik merupakan karya seni dan media entertainment, tapi untuk sekarang nilainya di Indonesia masih kesekian. Perubahan budaya yang mengalir deras dan mati surinya komik lokal makin menancapkan dominasi komik asing yang didukung struktur industri komik yang kuat. Kini pembaca komik sudah terbiasa dengan mata besar (style Manga), CRASH (sound effect khas Manga), Akatsuki, Kurosaki, Nanoko, Hachiko (nama karakter-karakter Jepang), dan masih banyak lagi ke-Jepang-an lainnya. Sementara Bagus, Ayu, Ratna, Shinta, atau komik lokal mojok di lorong gelap belajar mengenali dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H