Tadi pagi aku dapat pesan lewat BBM. "Bu, tadi Bang Ibrahim nelpon aku!" "Benarkah? Abang itu bilang apa?" "Abang itu bilang, diantara kita berempat, kamu lah yang terbaik." "Mengapa Abang itu bisa bilang begitu?" "Sejak semula kita bertemu, hanya dirimu yang membelanya." "hɑ=))hɑ=))hɑ=D˘•˘=)) " Aku tertawa geli membaca tulisan yang dikirim oleh Linda Sari, salah seorang teman perjalananku selama mengitari Banda Aceh dan Sabang. Kembali aku teringat pertemuan pertama dengannya. Ketika dengan kepercayaan diri tingkat tinggi aku keluar dari Fast Ferry Banda Aceh - Sabang menuju terminal kedatangan. "Sudah ada mobil?" Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut seorang lelaki yang sempat ku lirik bertampang sedikit menggembirakan. "Belum, Bang!" Sahutku memberanikan diri. "Naik mobilku saja! Ini mobilnya. Tujuan kemana?" Ia memulai penawaran. Tiba-tiba aku sudah dikerubutin oleh tiga orang teman-teman seperjalananku. "Iboih, kami mau ke Pulau Rubiah!" Jawab Yusrie sok tau. Pasti sejak tadi dia sudah ngoggling tempat-tempat yang asyik di Sabang. "Boleh, nanti akan saya antar kesana." Pria itu menjawab. "Berapa ongkosnya, Bang?" Tanyaku langsung-langsung aja. "Lima puluh ribu aja satu orang sekali jalan." "Hah? Mahal banget!!!" Seru kami berempat serentak bagaikan koor paduan suara. "Gini lah, Bang! Kami diskusi dulu sambil sarapan di warung depan. Nanti kami hubungi abang kalau sudah sepakat." Aku mencari jalan keluar dari konflik penawaran. Sambil menunggu minuman datang, kami masih sempat berfoto bersama. Tiba-tiba kulihat lagi lelaki tadi menghampiri. "Carter aja mobilnya, Dek! Empat ratus ribu seharian, kalian akan ku bawa keliling-keliling Sabang hingga pesta tahun baru nanti malam. Sebagai bonusnya, besok kalian akan ku antar lagi kesini." Sebuah tawaran yang sangat menggiurkan dari orang yang belum kami kenal. Secara ekonomi jelas kami sangat diuntungkan. Bayangkan saja, untuk menuju Iboih yang merupakan pintu masuk ke Pulau Rubiah saja sekali jalan sudah lima puluh ribu, berarti pulang pergi seratus ribu, kalau dikalikan empat sudah empat ratus ribu. Dan sekarang beliau menawarkan seharian keliling Sabang di tambah pesta malam tahun baru serta bonus diantar pulang ke pelabuhan juga empat ratus ribu rupiah. Aku yang terbiasa berpikir cepat mencoba mengiyakan. Tetapi beberapa teman belum bisa mencerna penawaran yang begitu menggoda tersebut. Akhirnya agak sedikit memaksa akupun berkata, "Just make a sense! Only 400.000, we can go arround this island!" Masih terlihat raut-raut tidak puas di wajah kawanku karena berharap ada Angkutan Kota atau labi-labi yang bisa kami sewa dengan harga murah tentunya. Setelah bertanya kanan kiri, dan nyatanya tidak ada, kamipun naik ke mobil Bang Ibrahim, lelaki yang dari tadi berupaya menarik hati kami agar mau menyewa mobilnya. Sekilas aku bisa lihat senyum kemenangan di bibirnya. "Abang, jangan sempat Abang tidak bawa kami ke tempat-tempat menarik di Sabang ini yah!" Kataku memancing keakraban. Bagiku suasana akrab antara guide atau sopir adalah kunci kenyamanan selama perjalanan. "Tenang sajalah! Kalian tidak akan menyesal liburan bersama aku." Bang Ibrahim menjawab dengan sedikit angkuh. "Ya lah, Bang! Kamipun berharap begitu. Tujuan pertama kita adalah ambil tiket pulang, setelah itu booking penginapan baru lah selanjutnya jalan-jalan!" Aku mengagendakan skedul perjalanan selama di Sabang. "OK! Sekarang kita akan menuju kota Sabang untuk ambil tiket Fast Ferry buat besok kembali ke Banda Aceh. Abang sarankan agar kalian ambil tiket pagi, karena dikhawatirkan terjadi lonjakan penumpang, bila tidak keburu pagi, kita masih ada alternatif lainnya." Bang Ibrahim mulai pasang strategi. Aku mencium aroma inteligensia tingkat tinggi dari nada dan strategi bicaranya. "Itu danau Anaeuk Laot, pemandangan dari sini sangat indah. Rugi rasanya bila tak diabadikan." Bang Ibrahim meminggirkan mobilnya. Kami berebutan keluar untuk menyaksikan danau tersebut. "Wow, indah sekali!" Seru kami berempat tak henti-henti. Setelah puas berfoto aneka gaya kamipun melanjutkan perjalanan menuju Kota Sabang. "Itu tempat membeli tiketnya!" Bang Ibrahim menghentikan mobil di seberang toko handphone yang merangkap sebagai penjual tiket Ferry. Aku dan Bang Ibrahim serentak menuju toko tersebut. Setelah menuliskan nama-nama kami berempat tiketpun ku terima. Masih seperti saat berangkat, aku memilih kelas ekonomi yang harganya paling murah tetapi letaknya paling tinggi diatas kapal. Ku lihat sekilas Bang Ibrahim mulai merafal nama-nama kami berempat. "Melda, Melda... Namanya ternyata Melda." Bang Ibrahim berulangkali menyebut nama Melda yaitu temanku yang duduk tepat di sebelahnya. Kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini target adalah penginapan buat menghabiskan malam di Sabang nanti selepas pesta malam tahun baru. Berkali-kali Bang Ibrahim menghentikan mobilnya di depan penginapan, dari kelas hotel sampai penginapan murah, tapi semua memberikan jawaban sama. Tak ada kamar tersisa untuk kami berempat. "Sudahlah, Bang! Lebih baik kita lupakan soal penginapan, daripada waktu terbuang percuma untuk hal yang sia-sia. Sebelum sampai ke Sabang aku sudah check, rata-rata penginapan sudah penuh. Jadi kami sudah siap kok kalo harus menginap di rumah abang ataupun di mobil untuk malam ini." Aku angkat bicara. "Mengapa tidak bilang dari tadi, Lin?" Ku tengok muka Bang Ibrahim agak kesal. "Manalah tau, kali aja abang punya pengaruh disini sehingga kami dengan mudah mendapatkan sebuah kamar mewah dengan harga murah!" Aku berusaha berjenaka. Ampuh! Berlima kami tertawa-tawa bersama. "Selanjutnya kemana kita?" Bang Ibrahim bertanya. "Bawalah kami kemanapun kau suka, Bang!" Jawab Melda tak kalah pasrah. Serentak kami tertawa kembali. Lupa kalau di pelabuhan tadi saling menguji. "Abang pasti lebih tau kondisi alam daerah sini. Jadi, dengan mempertimbangkan semua faktor kami harap abang sajalah yang menentukan tempat mana yang lebih dahulu kami kunjungi." Aku memberi Bang Ibrahim celah untuk berimajinasi. Ku lihat sejenak ia terdiam, mungkin sedang mereka-reka rute terpendek dengan bensin teririt yang bisa digunakan selama perjalanan. "Baiklah, tujuan pertama kita adalah tugu kilometer nol Indonesia, setelah itu kita menuju Iboih sebagai pintu masuk ke Pulau Rubiah, lalu kita ke Anoe Itam tempat benteng jepang, trus ke Pantai Sumur Tiga. Bagaimana, setuju?" "Setuju, Bang!" Jawab kami berempat serentak persis kayak The Kwartet. Sepanjang perjalanan menuju Tugu Kilometer Nol Indonesia kami disuguhi pemandangan yang menyejukkan mata, hutan-hutan tropis yang masih lebat serta panorama pantai yang semua menggiurkan untuk disinggahi. Tetapi kami tetap menyatukan tekad menuju Tugu Kilometer Nol Indonesia. Dengan membayar Sepuluh ribu rupiah, kamipun bebas masuk ke areal tersebut. Ternyata pemandangan disekitar Tugu tersebut sangat indah, aku menyempatkan diri mengambil posisi agak berbahaya untuk mendapatkan panorama laut yang luar biasa tersebut. Setelah puas mengitari lokasi Tugu Km 0 Indonesia, kamipun melanjutkan perjalanan menuju Iboih, yaitu pintu masuk menuju Pulau Rubiah. Dengan menggunakan perahu boat yang memiliki box kaca  kami menyusuri perairan di Pulau Rubiah untuk melihat pemandangan biota bawah laut. Sayang sekali karena kamera kami hanya kamera digital, maka hasil yang diperoleh tidak maksimal. Puas menikmati panorama bawah laut, boat menepi untuk memberikan kesempatan kepada penumpang menikmati bekal yang dibawa dari rumah. Kamipun tak mau kalah, walau tidak membawa bekal, setidaknya minum air kelapa muda cukup untuk sekedar melepas dahaga. Terlihat ramai orang snorkling dan diving di sekitar Pulau Rubiah tersebut. Suatu saat aku juga akan kesini bersama putri-putriku, bathinku diam-diam. Ternyata boat yang kami tumpangi belum hendak bertolak balik ke Iboih. Bang Ibrahim yang dari tadi kebingungan mencari tempat sholat zuhur berusaha mendekati pemilik boat lainnya. Tentu saja kami tak lagi ingin membayar sepeserpun ongkos boat. Akhirnya ada juga pemilik boat yang baik hati. Kami diantar gratis ke tempat semula kami menyeberang. Setiba di Iboih, aku dan Bang Ibrahim bergegas menuju Mesjid untuk sholat Zuhur. Teman-teman yang lain tak kulihat berniat mengikuti kami. Mungkin mereka akan menjamak Zuhur di waktu Ashar, pikirku singkat. Selesai sholat kami bergabung kembali. Yusrie bilang ia ingin istirahat di penginapan. Ternyata, diam-diam Linda sudah memanfaatkan kakak kandungnya yang bekerja di Dinas Kesehatan Provinsi NAD untuk mencarikan penginapan di sebuah Akademi Perawat. Bang Ibrahim tak langsung membawa kami ke penginapan. Pantai Gapang yang terletak di sekitar Iboih disempatkan untuk disinggahi. Cantik juga pantai ini, rugi bila tak kami singgahi, pikirku. Waktu menunjukkan pukul tiga sore, kami kembali menuju Kota Sabang untuk sekedar makan siang. Setelah itu perburuan terhadap penginapan dilanjutkan. Yusrie yang tadinya terlihat begitu lelah mendadak tak berselera menyaksikan lokasi penginapan yang bagai kuburan. Akhirnya Sholat di Mesjid Raya Sabang merupakan solusi terindah. Ada raut wajah yang mendadak berkerut ketika aku menatap Linda. Masih ada beberapa tempat setelah itu yang sempat kami datangi, yaitu Pantai Anoe Itam yang didekatnya ada Benteng peninggalan Jepang serta Pantai Sumur Tiga. Kami berebut dengan malam yang mendesak turun hingga tak bisa berlama-lama disana. Lelah menyusuri pantai dan pulau, kami melanjutkan makan malam di Pujasera Kota Sabang. Menikmati sate gurita yang kata orang terkenal itu tapi di lidahku biasa-biasa saja. Bang Ibrahim ku lihat memesan nasi, sudah sejak siang tadi dia mengikuti kami untuk sekedar menikmati mie Sabang dan segelas kopi. Malampun bergerak larut. Kami memutuskan untuk menuju Sabang Fair, sebuah tempat akan dilaksanakannya Pesta kembang api menyambut tahun baru 2012. Susahnya mencari tempat parkir mobil menyebabkan Bang Ibrahim melaju menuju arah Sabang Hill, benar saja kami bisa leluasa parkir disana. Mataku mendadak layu. Tak sadar apa yang terjadi setelah itu, tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh desingan kembang api. Bau seperti mesiu mengganggu pernafasanku. Dari kaca depan mobil, aku bisa menyaksikan formasi aneka rupa dan warna kembang api dengan variasi harga berbeda. Lelah berteriak-teriak, Melda, Linda dan Bang Ibrahim masuk mobil lagi. Kami menuju penginapan. Kali ini otorita ada ditangan Bang Ibrahim. Terserah dia mau diinapkan dimana kami malam itu. Ternyata, di Pondok Mertua Indah. Kebetulan Mertua Bang Ibrahim memiliki kamar-kamar yang tidak sedang digunakan di loteng rumahnya. Kamipun beristirahat disana hingga subuh tiba. Pagi hari, suasana Pulau Weh mendadak diselimuti awan gelap. Aku turun untuk sekedar mencari pengganjal perut yang sejak tadi sudah kriuk-kriuk. Dibawah ada kue-kue basah tersedia di meja. Aku memesan kopi kepada seorang ibu yang akhirnya ku tahu itulah Ibu Mertua Bang Ibrahim. Mesti sudah separuh baya, gurat-gurat kejelitaan masih tergambar diwajahnya. Emaknya aja cantik begini apalagi anak perempuannya, pikirku menerka-nerka keelokan paras isteri Bang Ibrahim. Ketiga temanku menyerbu turun, mereka ikut memesan minuman dan menyantap kue asli Kota Sabang. Sebelum jam delapan Bang Ibrahim datang. Kami bergegas memasukkan semua barang ke mobil. Setelah berpamitan dengan Si Ibu, kami pun bergerak menuju Pelabuhan Sabang. Dua ikat rambutan diberikan oleh Ibu tersebut sebagai cemilan di perjalanan. Terima kasih, Ibu. Semoga sakit  Asam uratmu berkurang setelah minum rebusan yang tadi kuresepkan. Saat perpisahan itupun tiba. Aku susah bicara. Salam-salaman sajalah sambil mata berkaca-kaca. "Selamat Tinggal Sabang! Selamat tinggal, Abang Ibrahim Daoed! Doakan aku akan datang lagi ke Sabang ya!" Ucapku sambil berlalu. Erlina, 8 Januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H