Mohon tunggu...
Erlina Jusup
Erlina Jusup Mohon Tunggu... -

Tertipu aku dengan hatiku, akankah otak ku juga hendak menipu diriku???

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

“Pak, Saya Ini Istri Orang!”

13 Desember 2011   17:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:21 1993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Getar HP di saku rok hitamnya membuat konsentrasi Elana terganggu. Sudah dua bulan lebih ia mengikuti Diklat di Puncak Bogor ini. Sebuah sms baru terlihat dari layar HP, “Elana, kamu saya tunggu di depan terminal Baranangsiang sore ini!” tertera nama pengirim dibawah pesan tersebut, Marah Halim. Elana tersentak kaget. Timbul sejuta tanya dihatinya, “Buat apa Boss ku datang ke Bogor dan menyuruhku menemuinya? Bukankah sebulan yang lalu beliau sudah singgah kesini beserta isterinya?” Rasa ingin tahu Elana semakin besar sehingga ia membalas sms tersebut, “Baik, Pak! Segera saya akan kesana setelah pelajaran terakhir selesai.” [caption id="attachment_148520" align="alignleft" width="300" caption="tq, Gle!"][/caption] Tak sabar Elana menanti Bapak Syamsul Bahri, SH mengakhiri kuliahnya sore itu. Terlihat kegusaran di wajahnya yang ayu. Berkali-kali ia melirik jam di HP. Namun sepertinya Dosen itu teramat asyik mentransfer ilmu dan keahliannya yang agak langka kepada seluruh peserta Diklat. Hingga terdengar celetukan dari arah belakang, “Pak, waktunya habis!” salah seorang peserta memberanikan diri memecahkan komunikasi satu arah tersebut. Sang dosen melirik jamnya, “Maaf, saya terlalu semangat hingga lupa waktu. Baiklah kita akhiri pelajaran kali ini. Selamat sore!” Elana tidak membuang waktu lagi, setengah berlari ia menuju perhentian bus. Perjalanan ke terminal biasanya ditempuh kurang lebih satu jam dengan angkutan umum biasa. Ternyata Elana beruntung, sebuah angkutan umum L300 berhenti dihadapannya. “Menurut kawan-kawan, mobil ini bisa menghantarkan aku setengah jam lebih cepat dibanding bila menggunakan bus biasa.” Pikir Elana cepat. Dia duduk di bangku tempel berbaur dengan para penumpang lainnya yang terlihat kucel. Kontras sekali dengan seragam hitam putih yang dikenakannya. Elana tiba di terminal lebih cepat dari waktu yang diperkirakan. Langsung ia menuju hotel langganan si boss. Namun ia kaget ketika resepsionit hotel mengatakan bahwa orang yang ingin ditemuinya sedang keluar. Baru saja muncul keinginan hendak menelephon, tiba-tiba HP bergetar lagi, sebuah incoming call, “Elana, kamu dimana? Saya menunggumu di depan jalan masuk ke hotel!” “Pak, saya malah sudah sampai di hotel. Tapi saya akan segera menyusul bapak kesana, tunggu saja saya disitu, Pak!” Tegas suara Elana terdengar. Terlihat miss call yang sangat banyak di HP Elana. Ternyata waktu di mobil tadi ia sempat ketiduran karena kecapekan selama sehari penuh mengikuti pelajaran hari itu. Sambil berjalan dilihatnya panggilan gagal itu satu demi satu. Sebagian besar dari  Marah Halim, namun sebagian lagi berasal dari nomor HP teman sekamar Elana di hotel. Terlihat sms masuk, “Elana, kamu sudah membawa kunci kamar. Aku tidak bisa masuk. Hotel tidak mempunyai kunci cadangan.”  Lemas sekujur tubuh Elana. Tak henti-henti ia mengutuk dalam hati. Menyesali ketololan dirinya serta menyumpahi manager hotel kelas melati tempat diselenggarakannya diklat tersebut yang tidak menyediakan kunci serep. Di mulut jalan, Marah Halim sudah menanti dengan dandanan yang lebih necis dari biasanya. Usianya yang nyaris kepala lima tidak bisa ditutupi. Rambut-rambut putih sudah mulai terlihat rata di kepalanya. Setahu Elana, beliau adalah lelaki alim. Baru saja pulang menunaikan ibadah haji pada musim haji tahun lalu. Elana sangat menghormati bossnya ini. Disamping pengertian, Marah Halim juga expert dibidang pekerjaannya. Berbagai ilmu dan keterampilan diturunkannya kepada Elana. Memang mereka pernah berselisih paham, tetapi sebelum Ramadhan yang lalu mereka sudah saling bermaaf-maafan. “Elana, saya sudah menunggu kamu disini dari tadi! Kenapa kamu langsung ke hotel?” Marah Halim menyongsong Elana dengan sederet pertanyaan. Elana memberi salam hormat, namun Si Boss langsung memegang tangan Elana kuat-kuat. Berdesir darah Elana. Ia mencium gelagat kurang baik. “Bapak, ada hal penting apa yang membuat Bapak menyuruh saya kesini?” “Elana, saya kangen sama kamu! Saya juga tau bahwa kamu juga kangen pada saya!” Dug! Terpukul hati Elana. Dulu-dulu dia memang pernah menikmati perhatian lelaki ini. Mengharapkan lelaki ini mengatakan kata-kata cinta untuknya. Namun itu dulu, saat Elana masih sendiri.  Sekarang Elana sudah memiliki suami. Kalau diurut-urut, suaminya juga berasal dari keturunan yang sama dengan Marah Halim. Lelaki ini pasti sudah silap. Entah setan apa yang sudah bersarang di kepala otaknya. Elana bukanlah perempuan lemah, dia wanita yang memegang komitmen. Marwah  diri dan suaminya sekarang sedang dipertaruhkan. Cepat otak Elana berfikir. “Aku harus menang! Tanpa menyakiti hati bosku!” “Pak haji, kamu kenapa? Kenapa kamu bicara begitu?” Elana pura-pura bertanya. “Jangan kamu sebut-sebut gelarku itu sekarang, Elana!” Marah Halim merangkul bahu Elana. “Pak, saya ini isteri orang! Tolong lepaskan tangan bapak dari bahu saya, please!” Mohon Elana pelan. “Saya ingin mengajak kamu kesebuah tempat, dimana hanya kamu dan aku saja yang ada disana, Elana!” Marah Halim merapatkan rangkulannya. Elana kaget, dengan sekali geliat tangan Marah Halim terlepas. “Bapak, saya mohon maaf. Untuk saat ini saya tidak bisa, Pak. Kawan saya baru saja mengirim sms bahwa kunci kamar terbawa oleh saya, Pak! Tolong biarkan saya kembali ke Puncak, Pak!” Suara Elana terdengar memelas. “Elana, kamu jangan cari alasan lah! Ini saat yang tepat untuk kita berdua. Sudah lama saya menanti kesempatan seperti ini!” Si Boss masih melancarkan serangannya. “Tidak, Pak. Saya tidak bisa. Memang saya bukan orang yang alim, tetapi berdua saja bersama Bapak adalah sebuah penghianatan. Saya ini isteri orang, Pak! Tolong hargai saya, Please!” Elana mengatupkan tangannya ke dada. Ternyata Marah Halim luluh juga. Diambilnya beberapa lembaran uang merah dari dalam dompetnya. “Ini hasil kerja kita tahun yang lalu. Saya tahu kamu sangat membutuhkannya saat ini.” Beberapa orang yang berdiri di trotoar memandang Elana dan Marah Halim dengan tatapan yang biasa saja. Mungkin mereka berpikir bahwa Elana adalah Putri Marah Halim yang sedang meminta jatah bulanan untuk biaya hidup dan sekolah. Elana tidak bisa menolak. Diterimanya uang tersebut dengan mata yang nyaris berkaca-kaca. Mungkin aku tidak bisa menerima dirinya, tetapi aku harus menerima uangnya. Elana menganggap itulah Win-Win Solution. Elana berlalu, melaju bersama Angkutan Kota yang antri menunggu. Di sebuah hotel di kawasan puncak, terlihat dua orang wanita menekuk muka menahan amarah. Seragam diklat masih dikenakannya. *Catatan : Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Mohon maaf bila ada yang merasa dejavu ketika membacanya. Salam Mesra. Erlina, 13 Desember 2011 @RSU Malahayati Medan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun