Mohon tunggu...
Erlina Jusup
Erlina Jusup Mohon Tunggu... -

Tertipu aku dengan hatiku, akankah otak ku juga hendak menipu diriku???

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Prahara Cinta di Tano Niha (Bumi Nias)

27 Januari 2012   03:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:24 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia, orang yang selama ini tidur seranjang denganku tiba-tiba saja mengangkat batu padas dan berjalan kearahku. Aku yang saat itu sedang menggendong putri kami sontak menjerit ngeri melihat kilatan merah di kedua bola matanya. Terlihat sekali bahwa nafsu membunuh menguasai syaraf otaknya. Mulutnya merepet-repet entah berkata apa. Aku berusaha menyusul untuk mencegah agar padas tak menyentuh seujung rambut siapapun. Aku menyungkurkan badan di depannya, bermohon agar ia meletakkan padas itu kembali ke tanah.

“Turunkan padasnya, Bang! Turunkan! Demi aku dan anakmu!” Nyaris hidungku menyentuh ujung kakinya yang tanpa sepatu.

“Kalian semua harus dibunuh! Kalian semua harus mati!”  Bentaknya entah ditujukan pada siapa.

“Tolong Maaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!!!!” Aku menjerit sebelum padas itu menyentuh kepalaku. Masih sempat aku melindungi tubuh anakku agar tak menjadi korban kebiadaban ayah kandungnya sendiri. Dari dalam rumah emakku berlari-lari berusaha mencegah dan menyadarkan menantunya yang sudah kesetanan. Kulihat emakku bersimbah darah rubuh ke tanah,  setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

Tano Niha pagi itu sangat dingin. Angin berlomba-lomba menggerayangi tubuhku yang lemah. Ku coba menggerakkan tangan kiri untuk merapatkan selimut, ternyata susah dan terasa perih ketika digerakkan. Aku membuka mata pelan-pelan untuk melihat kondisi tangan kiriku. Ada jarum tertancap disitu. Aku diinfus, ada apa ini? Ku ingat-ingat semua peristiwa yang terjadi sebelum aku tergolek lemah di salah satu ruangan Rumah Sakit Umum Daerah Gunung Sitoli. Berdenyut kepalaku ketika teringat semuanya. Tangan kananku mendadak meraba kepala, ternyata dipenuhi perban. “Oh! Emak, dimana emakku? Dimana anakku?” Aku menjerit-jerit memanggil keduanya.

Dari jauh aku melihat seorang perawat tergopoh-gopoh mendatangiku.

“Ibu sudah sadar?” Ia mengatur laju kecepatan aliran cairan infus yang sempat terganggu karena sentakan-sentakan ku tadi.

“Emakku dimana? Emakku dirawat dimana, Suster?” Aku bertanya tanpa sabar.

“Emak ibu ada di tempat tidur sebelah situ. Sepertinya beliau juga masih tidur.” Aku menoleh ke arah yang ditunjukkannya. Terlihat disekitar telinga kanan emakku dibalut perban.

“Emakku terluka parah yah, Sus?” Aku menatap suster memohon jawaban yang jujur.

“Ada tusukan benda tajam di belakang telinganya. Tapi sudah diobati dan sekarang biarkan beliau beristirahat dulu, Bu!” Suster itu mencoba meringankan penderitaan ibuku di telingaku.

Tiba-tiba air mataku mengalir. Emakku telah disakiti oleh menantunya sendiri. Menantu yang selama ini sangat dipuja-puji karena kebaikan budi pekerti. Sepertinya kesalahan suamiku tak termaafkan lagi. Bila hanya aku saja yang disakitinya masih bisa aku bertoleransi. Tapi ini, yang disakitinya adalah emakku, orang yang telah melahirkan aku ke dunia ini. Membesarkan aku hingga menjadi sarjana dan sekarang berkat doanya telah berhasil aku menjadi Guru PNS di Madrasah Ibtidaiyah. Emakku datang ke Tano Niha ini juga untuk turut berbelasungkawa atas meninggalnya ayah suamiku. Lantas, mengapa air susu dibalas air tuba? Suamiku ternyata sudah berubah. Dia bukan lagi Zaluchu lugu yang aku kenal dua tahun yang lalu. Bercerai! Aku tidak sudi lagi kalau harus hidup bersamanya. Tekadku sudah bulat.

Tiga orang lelaki mendekat kearahku. Dua orang diantaranya aku kenal baik, ayah dan pamanku. Mereka tiba di Gunung Sitoli pasti dengan penerbangan pertama. Melihat keduanya aku seperti menemukan kekuatan baru. Kekuatan untuk keluar dari penindasan yang telah dilakukan oleh orang yang dulunya telah berjanji setia untuk hidup dalam suka dan duka denganku, dengan penuh cinta tentunya. Seorang lagi adalah polisi, terlihat dari seragam yang dikenakannya.

“Apa kabarmu, Nak?” Ayah dan paman berganti-ganti memelukku. Kulihat mata mereka merah menahan tangis yang sangat tabu bagi para lelaki di kampungku.

“Ayah, mana anakku? Bawa kami pulang dari sini! Tolong, Ayah! Bawa kami keluar dari sini sekarang juga!” Aku merengek-rengek bagai saat kecil dulu ketika minta dibelikan balon mainan warna merah jambu.

“Ayah sudah beli tiket pulang untuk kita semua, Nak! Nanti kita semua akan pulang dengan penerbangan terakhir.” Ayahku mengusap matanya. Gagal ia membendung air mata dari sumbernya.

Kulihat pamanku sudah ada disisi emak yang masih belum sadar juga. Terlihat kesedihan yang teramat dalam diwajahnya. Ayah dengan anggukannya meminta ijin padaku untuk menengok kondisi emak. Semakin tua saja beliau terlihat saat dalam kondisi sedih begini.

Tak lama dokter yang merawat aku dan emak datang. Paman memohon kepada dokter agar aku dan emak bisa dirawat di RSU H. Adam Malik Medan. Melalui debat yang tidak terlalu lama, akhirnya dokter menyerah. Tak percuma mengangkat paman selama ini selalu menjadi wakil keluarga dalam setiap urusan, saat inilah beliau membuktikan kemampuannya.

Urusan administrasi rumah sakit selesai. Kulihat anakku datang digendong oleh mertua perempuanku. Menetes lagi air mata di pipiku. Cepat-cepat aku menghapusnya agar tak sempat terlihat oleh anak dan mertuaku. Tak satu katapun keluar dari mulut mertua. Ia terlihat  sangat terpukul atas kejadian ini. Apalagi vonis dokter menyatakan  bahwa suamiku terkena gangguan kejiwaan.

***

Lapangan udara Binaka terlihat sesak. Kami mendapat perlakuan istimewa karena ada pengawalan beberapa orang polisi. Kejadian yang kami alami sempat membuat gempar kota Gunung Sitoli. Hampir semua orang terlihat bersimpati.

Akhirnya semua sudah di atas pesawat. Saatnya untuk berangkat, meninggalkan Tano Niha yang sudah menggoreskan luka lahir dan bathin dalam hidupku. Selamat tinggal suamiku, selamat tinggal Ibu Mertua, selamat tinggal semuanya! Tak ada tuntutan kami atas kekerasan yang telah kalian lakukan karena yang penting bagi kami adalah kebebasan kembali ke kampung halaman.

Erlina, Kisaran 27 Januari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun