Mohon tunggu...
Erlina Jusup
Erlina Jusup Mohon Tunggu... -

Tertipu aku dengan hatiku, akankah otak ku juga hendak menipu diriku???

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dor! Dor! Dor! (Lagi) di Bumi Aceh

1 Januari 2012   03:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:30 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keringat membasahi seluruh tubuhku. Udara mendadak terasa begitu panas. Tubuhku bergetar hebat ketika ketukan di pintu membangunkan aku dengan paksa. Ku gerakkan badan ke kiri dan ke kanan, berusaha bernafas lebih leluasa namun tetap saja terasa sesak di dada. Ah, ternyata aku terkurung di dalam sebuah mobil sedan. Mesin mobil sudah dimatikan. Hanya ada celah sedikit saja di kaca untuk membuat udara luar masuk ke dalam mobil. "Pantas saja aku sesak, ternyata AC tidak menyala." Ku buka pintu mobil sehingga udara luar bebas masuk. Aku menarik nafas dalam-dalam. Paru-paru terasa longgar.

Belum lama udara malam memenuhi rongga dada, tiba-tiba bergetar seluruh tubuhku ketika secara membabi buta terdengar desingan disekelilingku. Bahkan diatas mobil tempatku terduduk kaku. Tak berhenti-henti hingga membuat aku semakin panik. Aku yang baru terbangun dari tidur tidak menyadari apa yang baru saja terjadi. Bau seperti mesiu membuat pernafasanku terganggu. Aku terbatuk-batuk sambil membetulkan syal yang merangkap sebagai penutup kepala lebih rapat menutup leher dan ujungnya ku arahkan ke hidung mencegah bau agar tidak leluasa menjajah syaraf-syarafku.

"Dor! Dor! Dor!" Bunyi itu saling bersahutan. Ku lirik jam di HP. Tepat jam 00.00 WIB. Secara perlahan kesadaranku pulih. "Aku saat ini berada di Sabang Fair untuk menikmati perayaan penyambutan malam tahun baru 2012." Otakku mulai bekerja normal. Teriakan-teriakan yang ku dengar tadi adalah teriakan kegembiraan, bukan jeritan para wanita yang ketakutan menjadi janda karena suami mereka dibawa secara paksa oleh tentara.Dan, bau mesiu tadi, adalah hasil pembakaran dari kembang api yang melesat pergi namun menyisakan bau di bumi. Ku dongakkan kepala ke langit, terlihat aneka warna cahaya berpendar membentuk aneka formasi. Begitu bervariasi, seakan tak ada henti. Sorak Sorai mengiringi setiap letusan. Bahkan tanpa di pandu antri menyalakan petasan, seakan berharap sorak-sorai terbanyak mengarah kepadanya.

Sabang Fair mendadak sunyi ketika terdengar ledakan dan nyala yang tidak diingini. Sebuah kembang api meledak sendiri di tangan penjualnya. Ku lihat beramai-ramai orang berlarian menuju kesana. "Semoga tidak lagi ada korban jiwa." Doaku sambil menutup kaca jendela mobil untuk siap-siap berlalu dari tempat itu.

Erlina, 01 Januari 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun