Mohon tunggu...
Erlina Jusup
Erlina Jusup Mohon Tunggu... -

Tertipu aku dengan hatiku, akankah otak ku juga hendak menipu diriku???

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Suatu Pagi di Malahayati

18 Desember 2011   07:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:06 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyambut pagi yang basah dengan secangkir  air panas, sebungkus teh celup  Lipton dan dua bungkus gula Tropicana slim membuat otak sedikit bertenaga untuk mulai memproduksi kata-kata. Tujuh pesakitan di ruangan 216 rumah sakit Malahayati dengan berbagai keluhan masih terdengar ngorok satu demi satu. Di sudut pintu adalah penderita paru-paru yang tubuhnya mulai mengurus dimakan waktu. Di sebelahnya seorang bapak tua yang menderita stroke ringan tampak lemah tak berdaya. Gurat-gurat stress sudah terlihat di wajah anak lelakinya yang konon kabarnya juga memiliki seorang isteri yang gila karena pernah ditinggalkannya. Selanjutnya ada penghuni baru yang tadi malam aku belum sempat berkenalan karena mata kelewat dini terpejam. Berikutnya seorang centeng salah satu PTPN III yang sudah lebih sebulan dirawat karena kanker leher yang dideritanya. Tubuhnya makin hari makin melemah akibat efek sinar dan kemoterapi yang dijalani saban hari. Ini disebelahku, kemarin baru saja harus opname lagi setelah pulang ke rumah belum ada satu minggu yang lalu, seorang lelaki terlihat kurus sekali, berumur belum lima puluh tahun tergolek tanpa kata. Selang demi selang terlihat bergelantungan disekujur tubuhnya. Kemarin isterinya sempat bercerita bahwa lelaki itu sudah empat tahun mengalami stroke akibat penyakit jantung yang dideritanya. Konon dulunya ia juga seorang pelatih senam jantung sehat. Tepat di depan pintu, seorang lelaki tinggi besar terbaring kaku. Tadi malam baru saja selesai operasi usus buntu. Dan aku sendiri, tak ada alasan lain berada disini kecuali karena tuntutan hati merawat bapakku tercinta yang sudah tertidur saja selama lebih tiga minggu berlalu. Baru ketahuan kemarin melalui CT SCAN bahwa terjadi pengulangan stroke yang sangat berbahaya. Ada beberapa infarction menyerang otaknya. Ada yang lama namun ada juga yang baru terjadi. Pada otak kiri, otak kanan bahkan batang otak yang menyebabkan sang bapak terlihat seperti seorang bayi lelaki raksasa. Di ujung kakinya terlihat perban putih karena ada gangren akibat Diabetes Mellitus yang dideritanya. Berada diantara para pesakitan ini membuatku betul-betul menghargai makna sebuah kesehatan. Beruntung sekali seluruh pesakitan ini kecuali bapakku dibiayai oleh pihak perusahaan tempat mereka bekerja, ada pula yang mendapatkan asuransi kesehatan dari pemerintah. Tak perlu mereka memikirkan berapa rupiah yang akan dikeluarkannya, cukup relakan saja diri untuk dirawat oleh pihak rumah sakit. Dan tentu sajalah, dengan minimal satu orang pihak keluarga yang ikut merawatnya. Sementara bagi orang-orang seperti bapakku, bila sudah sakit parah begini, beberapa asset pribadi harus dilepas satu demi satu. Perlu kerelaan hati anggota keluarga bila sudah terjadi kondisi seperti ini. Lantai-lantai kamar ruangan ini dipenuhi oleh tikar dan ambal tempat keluarga pesakitan istirahatkan diri sambil harus terus peduli. Kata orang, hanya di Indonesia sajalah hal ini terjadi. Di Negara yang lebih maju tak pernah diperbolehkan pihak keluarga ikut tidur di ruangan apalagi turut serta merawat pesakitan. Bila sudah diserahkan ke pihak manajemen rumah sakit, pihak keluarga hanya punya hak untuk membesuk saja pada jam-jam yang ditentukan. Kenapa ini terjadi di negeri ini? Ada beberapa alasan klise yang diberikan, diantaranya untuk memberikan kesempatan bagi pihak keluarga merawat anggota keluarganya sendiri sehingga tingkat pemulihan lebih cepat dibanding bila dirawat oleh orang lain. Yang kedua, tenaga paramedis dalam hal ini perawat, kuantitasnya tidak cukup bila dibandingkan dengan jumlah pasien yang ada. Namun ternyata bila dilihat sisi mudhoratnya banyak juga. Ruangan rumah sakit jadi penuh sesak tak rapi. Disamping itu bila berhari-hari hidup dengan kondisi seperti ini tentu saja pihak keluarga yang sehat memiliki kemungkinan besar untuk jatuh sakit. Lalu, siapa yang peduli? Ini kali kedua kami berpindah rumah sakit. Setelah sebelumnya bapakku dirawat di rumah sakit umum daerah. Bila dibandingkan, tentu sajalah terdapat perbedaan yang mencolok diantara keduanya. Disini para medis lebih ramah, lebih peduli dan menu makanan pasien lebih bervariasi. Dan yang terpenting dari semua itu adalah tersedianya cukup tenaga ahli dan peralatan-peralatan laboratorium dengan presisi tinggi, meskipun harus membayar lebih. Pasien dengan biaya sendiri diwajibkan untuk meninggalkan deposit sebelum mendapatkan rawatan di ruangan. Resep obat yang harus ditebus sendiri serta kerap dikonfirmasi apabila akan melakukan setiap transaksi pemeriksaan laboratorium. Hal ini dilakukan agar ketika pembayaran, keluarga pasien tidak keberatan dengan harga yang kemungkinan akan membengkak mengerikan. Menebus obat di apotik rumah sakit ternyata harganya jauh lebih tinggi daripada di apotik besar di luar. Konon kabarnya ada pajak-pajak rumah sakit yang harus diikutsertakan pada harga yang diberikan.  Ada cerita tersendiri yang membuatku mengetahui hal ini. Hasil laboratorium mengindikasikan bahwa tubuh bapakku sudah immune untuk beberapa antibiotik sehingga internist memberikan resep baru. Aku menghubungi handphone seorang distributor yang direkomendasikan oleh internist tersebut. Katanya harga satu kotak antibiotic itu empat ratus tujuh puluh lima ribu rupiah. Aku sebenarnya tidak ada hak untuk protes soal harga, tapi ketika diujung sana menanyakan soal ketersediaan dana untuk membayarnya membuat otakku menggelegak juga. Mengapa harus meragukan pasien yang dirawat di kelas tiga? Apakah suaraku terdengar berdusta? Aku berikan handphone kepada perawat kepala, berharap ia bisa melakukan transaksi paling tidak memberikan kesaksian bahwa aku sanggup membayar semua orderan. Ternyata sang perawatpun sakit hati dengan cara distributor yang tak mengenal sopan santun dalam marketing. Si perawat menutup handphone tanpa salam penutup. Dichecknya harga obat tersebut di apotik rumah sakit, ternyata lebih tinggi seratus ribu rupiah. Berarti bila aku membeli empat kotak untuk persediaan dua hari maka bisa hemat empat ratus ribu. Sebuah jumlah yang bisa membuat bapakku dirawat dengan tambahan empat hari di ruangan yang sama rumah sakit ini. Aku melihat raut wajah perawat yang menahan geram, kuberikan solusi untuk mencari obat di apotik lain. Ternyata, harga antibiotic itu lebih rendah seratus ribu rupiah dibandingkan dengan harga yang diberikan distributor. Sebuah kenyataan yang sulit dipercaya. Kini bapakku harus konsul dengan dua specialist yang berbeda. Selain internist beliau juga harus di visite oleh specialist syaraf. Aku membaca getar-getar kecemasan di bibir ramah specialist syaraf itu. Begitu lihai ia mencairkan suasana hingga membuat anggota keluarga tak jadi susah. Tapi dasar aku yang to the point aja, berharap sang dokter tidak merahasiakan apa saja, bahkan kalo perlu menyarankan kami pulang ke rumah. Dalam kepasrahanku tetap saja ada air mata yang merembes tanpa kompromi. Ada perih di setiap kelokan hati walau tak ada luka infeksi. Erlina, 18 Desember 2011 @RSIM

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun