Mohon tunggu...
Erlina Maria Intan
Erlina Maria Intan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya mahasiswa aktif universitas Katolik Santu Paulus Ruteng

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Rein dan kantong plastiknya: Berseteru dibawah hujan menggali penghasilan

8 Januari 2025   20:41 Diperbarui: 8 Januari 2025   20:41 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reinaldis Dama (Sumber: dokumentasi pribadi)

Saat itu, tepat di musim yang sering membawa hawa dingin di Kota Ruteng, suara hujan yang pelan-pelan menyelimuti tanah dan getaran langkah kaki bocah-bocah itu seolah diresapi dan menggema sampai ke ujung atap rumah adat kampung Tenda, menggapai setiap mata hati yang menjadi saksi. Diatas setapak yang bersentuhan langsung dengan pekuburan umum, berdiri seorang anak laki-laki dengan tinggi badannya kira-kira sekitar 120 cm. Namanya Reinaldis Dama atau yang akrab disapa Rein berusia 12 tahun, berasal dari Poka Ruteng, dan lebih lengkapnya dengan plastik ikan dikedua tangannya. Ia tengah duduk di bangku SD tepatnya di SDK Poka Kec. Wae Ri'i Kabupaten Manggarai. Terkadang, udara dingin di sore hari membuatnya kaku untuk terus melangkah lebih jauh lagi. Senyum lugunya menggantung begitu banyak harapan diantara para pembeli sambil sesekali suara seraknya meneriakkan "Ikaaan! Kaka beli ikan ka!"

Sebagian anak seusianya, mungkin akan menggunakan waktu di sore hari untuk bermain atau mungkin mengerjakan PR yang diberikan guru. Namun, Rein rasanya kian serius menyangkal hal itu dengan terus bekerja dan menghasilkan uang. Baginya, perjuangan yang ketat dan gigih pasti akan membuahkan hasil yang baik dimasa depan. "Saya kadang capek sekali kalo tiap hari jual ikan terus. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah hidup."  Keluhnya. 

Rein lahir di keluarga yang begitu sederhana. Ayahnya bernama Ema dan Ibunya biasa di sapa sebagai mama Ret Nanu. Kedua orang tua Rein merupakan petani yang hidup dari lahan orang lain, sehingga seringkali mereka berharap mampu untuk menyekolahkan anaknya sampai menjadi sarjana dan bekerja ditempat yang jauh lebih indah dari lahan dingin itu. "Bo saya punya orang tua sebenernya tidak mau lihat saya jual ikan trus jalan keliling begini. Tapi saya sendiri juga mau bantu mereka biar hanya sedikit-sedikit saja karena kasian mereka aeh. Saya senang sekali kalo ada yang beli ikan ini." Ujarnya sambil tersenyum. Kini seluruh bagian tubuhnya telah mengeluarkan cairan emosi yang menyesakkan, dimana perhentian berikutnya. 

Di antara dempetan waktu, Rein telah menyimpan begitu banyak keinginan dan telah menguburnya sejak lama. Dia terlalu tertutup untuk menyampaikan segalanya. Kisah dirinya  hanya tentang bangun pagi tepat waktu, membantu membereskan rumah, memberi makan ternak, perjalanan kesekolah, belajar, mengerjakan tugas dan kembali pada sorenya menjual ikan. Rutinitas yang ketat ini kadang membatasi ruang belajar bagi Rein karena fokusnya terlalu dalam untuk berbagai pekerjaan rumah belum lagi memikirkan masa depannya yang sulit ditebak. Namun, Ia tetap gigih dan pantang menyerah untuk terus memaksa diri belajar. "Pokoknya saya kalo sudah pulang rumah, banyak kerja eh kadang sampe lupa kerja tugas apalagi tugas matematika sadis aeh. Semoga nanti saya bisa kerja di kantor supaya gaji kasih orang tua. Itu saja saya punya harapan kecil. Biar pelan-pelan nanti harus sukses." Keluhnya dengan penuh harapan. 

Sesekali Rein merasa sedih saat ada orang memanggilnya hanya untuk menanyakan harga ikan tersebut tanpa mencoba untuk melihat kualitasnya dulu dan biasanya mereka pergi begitu saja. Ia menaruh harga ikannya seharga Rp.10000 per plastiknya yang berisi 10 ekor ikan. Adapun ikan yang dijualnya bersumber dari para penjual di pasar yang menyuruh mereka untuk berkeliling dengan memberi upah setengah dari  hasil penjualan tersebut. Walau kadang jarak tempuh yang ia lalui begitu tajam dan jauh, kaki mungilnya bahkan tak pernah mencoba untuk rapuh sedikitpun. "Saya punya penghasilan dari jualan ikan ini masih kecil sekali mungkin hanya 30000, itu kalo laku semua lagi begitu juga uang orang tua saya sedikit sekali. Pernah berapa kali itu saya pulang tidak bawa uang.  Saya juga bingung sekali mau kerja apa lagi yang bisa bikin banyak uang itu ka. Belum pikir uang sekolahnya lagi". Keluhnya sambil menghembuskan nafas panjang. 

Betapa berat perjuangan bocah kecil ini dalam menghadapi setiap tantangannya. Ia telah mengelilingi seluruh batas-batas kota Ruteng untuk menyelesaikan tugasnya sebagai penjual ikan cilik. Terlalu menyeramkan bagi Rein kalau sudah sampai menembus malam. Pukul 19.00 menjadi pemandangan buram baginya untuk perjalanan pulang. Sambil menertawakan diri, Ia menyeka dahinya yang berlumuran hujan dengan terus mengutarakan isi batinnya. Ia memandang lama anak-anak yang kian bahagia bermain diantara sudut-sudut rumah. "Saya harap saya punya cita-cita bisa terwujud nanti supaya saya dan orang tua bisa senang sama-sama." Suaranya kaku. 

Sepertiga kisah bocah ini, membangunkan orang-orang dari kenyamanannya untuk tidur. Tantangan hidup rasanya bermacam-macam bila di ceritakan. Mereka yang tertawa, kemungkinan menanggung seluruh bagian hidup yang sulit di selesaikan dalam satu malam. Rein dan langkah kakinya ingin terus menggapai mimpi indahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun