Abigail Manurung, alias Gege, yang viral dengan ucapan: "Bercanda, bercanda?" Gege adalah mahasiswa baru angkatan 2023, dicontohkan sebagai kelompok Dahlan muda generasi Z yang lahir sekitar tahun 1997 hingga 2012. ini sekarang menempati posisi pertama dalam proporsi penduduk terbanyak di Indonesia, yaitu sebesar 27% dari total penduduk. Pada tahun 2024, Gen Z umumnya masih bersekolah, berkuliah, dan sebagian sudah memulai karier. Maka, tidak heran jika beberapa sektor pekerjaan saat ini mulai diisi oleh anak-anak muda. Bahkan, candaan di media sosial tentang "Gen Z menguasai dunia" bukanlah isapan jempol semata. Kalimat itu hadir sebagai tanda bahwa Gen Z, yang dulu masih bermain, kini sudah mulai terjun ke dunia kerja atau beranjak dewasa.
Gen Z memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan generasi sebelumnya, seperti yang disampaikan oleh Bruce Tulgan pada tahun 2013. Ada lima karakteristik utama Gen Z, tetapi di sini akan disampaikan tiga saja secara umum. Pertama, Gen Z sangat dekat dengan media sosial dan kecepatan informasi. Pernahkah kita bertemu dengan Gen Z yang mengeluhkan kecepatan internet? Padahal, kecepatan tersebut hanya tersendat sepersekian detik, tetapi sudah membuat mereka mengeluh. Kedekatan dengan media sosial membuat Gen Z memiliki karakteristik kedua, yaitu menganggap eksistensi berdasarkan komentar orang lain atau, sederhananya, haus validasi. Gen Z cenderung tidak ingin ketinggalan tren terbaru di media sosial, misalnya tren TikTok, pakaian, makanan, bahkan mainan. Tak jarang, Gen Z lebih mengedepankan prestise semu daripada prestasi. Generasi Z yang lahir berbarengan dengan kemunculan media sosial ini membuat sebagian dari mereka memiliki kemampuan komunikasi interpersonal yang kurang baik. Menurut Bruce Tulgan, hal ini terjadi karena Gen Z jarang bersosialisasi langsung dengan masyarakat atau gagal mentransfer keterampilan dari generasi sebelumnya. Itulah keunikan Gen Z yang membedakannya dengan generasi sebelumnya.
Karakteristik di atas menjadi tantangan bagi semua kalangan, terutama bagi Muhammadiyah. Muhammadiyah, yang sejak awal berdiri untuk menyelenggarakan tujuan negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, turut dituntut beradaptasi dan menjawab tantangan tersebut. Gen Z yang menjadi proporsi terbesar penduduk ini harus menjadi perhatian khusus bagi Muhammadiyah. Kita perlu mengakomodasi minat dan karakteristik Gen Z. Sebagai contoh, bagi generasi sebelum Gen Z, bekerja di bawah tekanan adalah hal yang biasa, namun bagi Gen Z, tekanan tersebut bisa menjadi masalah. Hal ini juga merupakan dampak dari kecenderungan terhadap dunia digital, terutama media sosial. Gen Z seolah terjebak pada konten media sosial yang tampak nyata. Istilah yang populer saat ini adalah "standar TikTok." Sektor pendidikan sebagai jalan paling mudah untuk mengubah pola pikir tentu diharapkan dapat membantu Gen Z mengubah paradigmanya.
Teman-teman tahu, kan, jika Gen Z lahir hampir bersamaan dengan kemunculan media sosial, yang sedikit banyak mempengaruhi sikap dan perilaku mereka? Tumbuh kembang Gen Z yang dipengaruhi media sosial tampaknya menjadi tantangan dalam dunia pendidikan. Meskipun dikatakan sebagai jalan paling mudah mengubah pola pikir, ternyata kemudahan itu tidak seperti membalikkan telapak tangan. Alih-alih mengubah pola pikir, sektor pendidikan yang diterapkan secara terburu-buru malah bisa memperburuk suasana. Ketergantungan Gen Z pada teknologi dan kedekatan dengan media sosial menyebabkan para pendidik memiliki tantangan tersendiri dalam menerapkan nilai-nilai kemuhammadiyahan. Hal ini membuat guru atau tenaga pendidik perlu melakukan penyesuaian. Pendekatan konvensional dalam menyampaikan pengajaran mungkin sudah tidak efektif lagi diterapkan pada Gen Z. Sebagai contoh, Gen Z lebih senang melihat tutorial di platform YouTube atau TikTok alih-alih membaca buku. Hal serupa juga akan terjadi jika tenaga pendidik masih menggunakan metode ceramah. Di satu sisi, keberadaan media sosial bisa menjadi peluang bagi pendidik untuk menarik perhatian Gen Z.
Masifnya media sosial juga memungkinkan adanya konsumsi konten negatif yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemuhammadiyahan. Untuk menekan hal tersebut, mengapa tidak menjadikan media sosial sebagai sarana dakwah untuk menanamkan nilai-nilai kemuhammadiyahan? Saat ini, metode dakwah yang digemari masyarakat adalah melalui media sosial dengan konten-konten yang menarik. Daripada Gen Z merasa cemas tentang masa depan akibat standar TikTok yang semakin tidak masuk akal, ini bisa menjadi peluang untuk menekan standar tersebut dengan dakwah yang lebih realistis. Konten dakwah di media sosial akan sangat efektif jika dikerjakan dengan baik; tidak menutup kemungkinan bahwa Gen Z akan menjadikan konten dakwah ini sebagai standar hidup. Adanya kesinambungan antara karakteristik, kondisi sosial, ilmu, dan iman tentu akan menjadikan Generasi Z lebih baik dari sebelumnya.
Media sosial saat ini menjangkau hampir setiap orang yang bisa mengaksesnya, dan Gen Z menjadi generasi yang paling sering menggunakannya. Namun, minimnya konten dakwah terkadang membuat Gen Z kehilangan arah dan menjadikan standar TikTok sebagai realitas. Ini menjadi tantangan untuk terus menyebarkan dakwah yang sesuai dengan perkembangan zaman, terutama dalam kaitannya dengan akidah. Sesuai dengan visi dari pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, yang menginginkan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, kemampuan para pendakwah dan pendidik juga harus ditingkatkan dalam pembuatan konten edukasi dan dakwah agar nilai-nilai kemuhammadiyahan dapat terus hidup dan tumbuh di kalangan Gen Z yang dekat dengan media sosial. Jika semua ini terjadi, tidak menutup kemungkinan ilmu dan iman akan berjalan beriringan. Dengan mendekatkan nilai-nilai agama dalam lingkungan yang akrab bagi mereka, tanpa disadari kita telah berkontribusi dalam mencerdaskan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H