Mohon tunggu...
Erlanda Juliansyah Putra
Erlanda Juliansyah Putra Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Hukum Tata Negara Pascasarjana Universitas Indonesia, Presidium Forum Pascasarjana Hukum Tata Negara UI (ForpasHTNUI), Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia (IMMH), Praktisi, dan Lawyer

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menguji Komitmen Pemerintah dalam Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masalalu Secara Berkeadilan

30 Mei 2015   19:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum genap setahun memimpin pucuk pemerintahan, Jokowi-JK selaku nahkoda negara sedang dihadapi dengan berbagai macam persoalan yang sangat krusial salah satunya adalah terkait dengan kebijakan yang dianggap tidak populer dalam menaikkan serta menurunkan harga BBM dan persoalan Polri-KPK yang sempat menarik perhatian publik hingga berakhir kegugatan praperadilan yang mengkandaskan upaya KPK dalam menjerat tersangka korupsi di pengadilan, serta terpilihnya beberapa srikandi panitia seleksi pimpinan KPK yang sempat menghebohkan media masa akhir-akhir ini.

Dari keseluruhan persoalan tersebut, terdapat suatu persoalan yang sangat krusial yang sebenarnya luput dari pemberitaan media, yakni pemberitaan terkait dengan keseriusan pemerintahan dalam mengungkapkan serta menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang selaras dengan program prioritas legislasi nasional tahun 2015.

Sebagaimana yang telah diketahui bersama, pemerintahan Jokowi-JK dalam masa preiodesasi waktu yang singkat saat ini telah melakukan berbagai upaya dalam memberikan perhatian penuh terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu, hal ini dibuktikan dengan penjabaran 9 nawacita yang menjadi agenda prioritas pemerintahan Jokowi-JK dalam kurun waktu 5 tahun mendatang. Dalam konteks ini, yang menjadi dasar penekanan terhadap agenda prioritas tersebut adalah terkait dengan peranan negara dalam menghadirkan kembali negara sebagai fungsi utama dalam melindungi segenap bangsa dan negara serta memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara Indonesia. Penekanan tersebut tentu saja memberikan angin segar kepada para korban pelanggaran HAM untuk dapat meraih keadilan yang menyeluruh dengan menyeret  serta para pelaku dan aktor intelektual utama kemeja pengadilan. Untuk itu setidaknya dibutuhkan tiga formulasi khusus yang seharusnya dijalankan pemerintah dalam mendukung komitmen penuntasan setiap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pertama, Pemerintah Jokowi-JK dalam hal ini  dituntut untuk segera menerbitkan beberapa kebijakan strategis terkait dengan penuntasan kasus pelanggaran HAM dengan membentuk tim khusus percepatan Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi yang terdiri dari tim gabungan yang ditunjuk Presiden sebelum Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi benar-benar terbentuk melalui Keputusan Presiden.

Kedua, mempercepat pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dalam tempo waktu yang singkat yang ditujukan untuk menarik keterlibatan pelaku pelanggaran HAM dimasa lalu melalui jalur pengadilan, mengingat ketentuan mengenai pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc tersebut telah diatur didalam Pasal 43 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang mengamanatkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc yang didasari oleh usul  Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian dibentuk  pemerintah melalui Keputusan Presiden.

Ketiga, Pemerintah diharapkan mampu mendesak Kejaksaan Agung untuk terlebih dahulu memperoses pelimpahan 7 berkas  pelanggaran HAM berat masa lalu sebagaimana yang telah diserahkan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung beberapa waktu yang lalu, diantaranya kasus pembantaian masal 1965, penembakkan misterius, kasus Talangsari (Lampung), tragedi trisakti, tragedi semanggi I dan II serta kerusuhan Mei 1998 dan penculikan aktivis pada masa lalu. Serta pro aktif  mendesak pihak terkait untuk melakukan penyelidikan terhadap sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia khususnya di Provinsi Aceh yang berpotensi ditemukannya pelanggaraan HAM berat sebagaimana yang disampaikan dalam Sidang Paripurna Komnas HAM dengan membentuk tim Ad Hoc penyelidikan pelanggaran HAM di Provinsi Aceh seperti Peristiwa Rumah Gedong di Pidie, Peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara, Peristiwa Bumi Flora di Aceh Timur, Peristiwa Timang Gajah di Bener Meriah, dan Peristiwa Jambo Keupok.

Dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, penguraian sejumlah masalah seperti penggunaan dasar hukum terkait dengan persyaratan (parameter) korban pelanggaran HAM berat masa lalu, pemulihan hak-hak korban, serta pengampunan (amnesty) menjadi suatu persoalan penting yang harus diselesaikan melalui institusi pelaksana executing agency yang khusus dibentuk untuk menyelesaikan persoalan ini, hal ini ditujukan semata-mata sebagai upaya pengklasifikasian kasus-kasus yang pro justicia dan rekonsiliasi. Penyelesaian pro justicia dapat ditempuh apabila pelaku masih hidup dan bukti-bukti masih lengkap, sedangkan apabila korban kasus pelanggaran HAM berat bersifat massal dan dengan kurun waktu yang cukup lama penyelesaian  dapat ditempuh melalui rekonsiliasi yang ditujukan kepada Komisi Kebenaran Rekonsiliasi, mengingat saat ini pemerintah Aceh khususnya bersama dengan DPRA telah mengeluarkan qanun khusus yang membahas mengenai persoalan KKR di Aceh namun dikarenakan belum tersedianya peraturan induknya dalam undang-undang sehingga peraturan tersebut berlum bisa dijalankan.

Dalam penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu, terdapat empat pola penyelesaian yang lazimnya dipergunakan untuk menyelesaiakan persoalan tersebut antara lain  pertama, “never to forget, never to forgive” (tidak melupakan dan tidak memaafkan, yang berati “adili dan hukum”), kedua, “never to forget but to forgive” (tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan, yang artinya “adili dan kemudian ampuni”), ketiga, “to forget but never to forgive” (melupakan tetapi tidak pernah memaafkan, yang artinya tidak ada pengadilan tetapi akan dikutuk selamanya), dan keempat, “to forget and to forgive” (melupakan dan memaafkan, yang artinya tidak ada pengadilan dan dilupakan begitu saja).

Pola pertama diterapkan oleh Jerman setelah runtuhnya pemerintahan fasis di bawah Hitler dengan bantuan negara-negara sekutu. Sebaliknya, Spanyol memilih pola keempat segera setelah jatuhnya diktator Franco di era tahun 70-an. Sementara itu Korea Selatan menerapkan pola kedua pada kasus kedua mantan presidennya. Afrika Selatan  memilih pola kedua dengan penekanan lebih pada pendekatan disclossure melalui “Truth and Reconsiliation Commission” (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia yang sering disingkat dengan istilah “KKR”) daripada pengadilan. Sedangkan pola “to forget but never to forgive” pada dasarnya dapat ditemukan pada cara masyarakat Eropa melihat Inquisition yang dilakukan pada penganut ajaran Protestan selama abad pertengahan.

Sampai saat ini Indonesia belum pernah mengalami atau menjalankan proses penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat masa lalu. Usaha menuju ke arah itu pernah dilakukan, yakni dengan membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang telah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang No. 27 Tahun 2004. Dasar pembentukan UU KKR adalah Tap MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional serta UUD 1945. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mempunyai wewenang untuk menerima pengaduan, menyelidiki pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dan membuat rekomendasi untuk kompensasi dan/atau rehabilitasi bagi korban. Komisi Kebenaran juga merupakan langkah penting menuju pemahaman keadaan yang menyebabkan pelanggaran masa lalu, belajar dari masa lalu untuk memastikan bahwa kejahatan tersebut tidak akan dilakukan lagi, dan memastikan bahwa pengalaman bersama diakui dan dilestarikan. Namun sayangnya UU KKR tersebut terhenti sebelum dilaksanakan karena diajukan judicial review oleh 6 orang (Arukat Djaswadi, dkk) ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang akhirnya dikabulkan oleh MK pada tahun 2006.

Pada era pemerintahan sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah membentuk sebuah tim multi-lembaga untuk mencari "format terbaik penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu". Tim tersebut melakukan serangkaian upaya untuk mengunjungi korban pelanggaran HAM di sejumlah tempat, termasuk Talangsari, Tanjong Priok dan Kupang. Namun, kinerja tim tersebut dikritik oleh organisasi hak asasi manusia dan kelompok-kelompok korban, karena dianggap telah gagal mengembangkan strategi konkret untuk menjamin kebenaran, keadilan dan reparasi bagi korban. Untuk itu setidaknya dalam masa pemerintahan Jokowi-JK saat ini harapan akan pembentukan KKR menjadi penting untuk ditindak lanjuti dan diselesaikan dalam tempo waktu yang singkat.

Pada konteks pengadilan HAM yang ada saat ini,  pemerintah setidaknya diharapkan mampu merumuskan konsep baru terhadap keberadaan pengadilan HAM Ad Hoc dengan cara melakukan redesaian  terhadap bentuk pengadilan HAM yang lama menjadi pengadilan HAM yang khusus membidangi kejahatan luar biasa, hal ini mengingat UU No. 26/2000 Tentang Pengadilan HAM tidak memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip Hukum Hak Asasi Manusia secara menyeluruh. Didalam konsep Hukum Hak Asasi Manusia hubungan yang terjadi adalah hubungan antara Negara dan Warga Negara, Negara sebagai pemangku kewajiban wajib memenuhi (fulfill), melindungi (protect) dan menghormati (respect) hak asasi dari warga negaranya. Jika negara tidak melakukan ketiga prinsip tadi maka negara melakukan pelanggaran HAM.

Namun seiring dengan hal tersebut tidak ada klasifikasi khusus mengenai Pelanggaran HAM dalam Konsep Hukum Hak Asasi Manusia sebagaimana yang dipahami dewasa ini, sehingga menjadi rancu ketika ada istilah Pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26/2000 dipahami sebagai istilah umum yang digunakan dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, namun bukan istilah Yuridis. Sehingga pemaknaan ini menyebabkan Pengadilan HAM memiliki yurisdiksi untuk mengadili Kejahatan Luar Biasa, yang merupakan Kejahatan dalam Rezim Hukum Pidana Internasional. Kejahatan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusian yang merupakan kejahatan yang menjadi Yurisdiksi Statuta Roma sekaligus sebagai rezim Hukum Pidana Internasional.

Mendesain pengadilan HAM menjadi Pengadilan Kejahatan Luar Biasa merupakan jalan keluar untuk memperbaiki permasalahan ini, kerancuan konseptual yang selama ini telah diterapkan sagatlah fatal dan akhirnya mengaburkan proses penyelesaian. Delik materiil dalam konsep Kejahatan Luar Biasa terdapat dalam Statuta Roma. Statuta Roma memiliki Yurisdiksi Materiil untuk mengadili 4 Kejahatan yakni, kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan peran dan kejahatan agresi, yang di dalam undang-undang No. 20 Tahun 2006 Tentang Pengadilan HAM  hanya mengambil 2 Yurisdiksi Materiil yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Seharusnya konsep HAM jangan dicampur adukan dengan konsep Pidana sehingga hal-hal yang merancukan pemahaman bisa tereliminir.

Sistem Peradilan yang ideal untuk Kejahatan Luar Biasa adalah dengan dibentuknya Pengadilan Kejahatan Luar Biasa, sebuah badan Peradilan Khusus yang memiliki lingkup kewenangan untuk mengadili kejahatan luar biasa (dalam hal ini yang terdapat dalam Statuta Roma). Sebagai sebuah kejahatan dalam Rezim Hukum Pidana kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan jangan diberikan kepada KOMNAS HAM, karena pastinya akan menimbulkan kerancuan

Jalan yang tepat bagi sistem peradilan  untuk kejahatan luar biasa saat ini adalah dengan memberikan kewenangan tersebut kepada Jaksa Agung,hal ini dikarenakan Jaksa Agung dinilai tempat yang tepat untuk mengurusi masalahan Kejahatan Luar Biasa. Dalam konteks pendirian pengadilan, idealnya dapat terpusat pada pengadilan Jakarta Pusat yang kompetensinya melingkupi seluruh wilayah hukum di Indonesia. Pada tingkat banding di Pengadilan tinggi Jakarta dan Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Dengan sistem seperti ini Pengadilan Kejahatan Luar Biasa akan lebih efektif dalam menangani perkara. Melihat praktik pengadilan HAM yang buruk dan hanya menyidangkan 3 perkara pada 2 pengadilan saja yakni Makassar dan Jakarta. Maka dengan sistem pengadilan terpusat diharapkan Pengadilan Kejahatan Luar Biasa bisa efektif menangani perkara kejahatan yang paling serius, sehingga dengan berbagai macam upaya tersebut mampu mendesak pemerintah untuk dapat menuntaskan persoalan pelanggaran HAM dimasa lalu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun