Salah satu program  Merdeka Belajar yang  fundamental adalah mengubah penilaian kompetensi siswa dari  Ujian Nasional (UN) dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survey Karakter.
Pengubahan penilaian kompetensi siswa ini diharapkan  akan berdampak pada  proses pembelajaran dan orientasi belajar siswa. Mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Menurut Mendikbud Nadiem Makarim,  AKM bertujuan untuk melatih siswa dalam kemampuan literasi dan numerasi dasar, seperti memahami konsep di balik tulisan  dan kemampuan menggunakan angka-angka.
AKM tidak menuntut siswa untuk  mahir dalam penguasaan konten, atau materi. Siswa dibiasakan untuk mulai berpikir tinggi, kritis dan kreatif sehingga nantinya siswa akan mampu belajar apapun mata pelajarannya.
Melalui penilaian AKM, siswa mulai dikenalkan berpikir konvergen dalam menentukan sebuah jawaban tepat. Penilaian yang merangsang berpikir tinggi, kritis, dan kreatif  mengajak siswa melakukan pembelajaran, yaitu berpikir memecahkan masalah dalam soal yang diberikan.Â
Selain melatih kemampuan berpikir, penilaian  juga mampu mendorong siswa belajar lebih baik. Bahkan, meskipun siswa tersebut salah dalam menjawab pertanyaan sekali pun.
Sebuah penelitian yang diterbitkan secara daring di jurnal Science menunjukkan bahwa siswa yang melakukan tes mampu menyimpan dan mengingat infomasi pengetahuan yang dibacanya 50% lebih banyak dari siswa yang belajar dengan cara membaca drill dan menggunakan peta konsep (nytimes.com).
Penilaian merupakan instrumen yang diyakini dapat memotret penguasaan siswa dalam batas kompetensi yang ditentukan. Penilaian juga menjadi arah pencapaian akhir belajar siswa selama ini. Sayangnya, yang terjadi di lapangan  penilaian yang dilakukan justru mendistorsi kebebasan proses belajar siswa.
Orientasi akhir belajar siswa di semua jenjang  adalah  belajar dengan pola menghafal materi yang akan diujikan. Bentuk soal yang dibuat pun cenderung masih  pada pemikiran tingkat rendah (Low Order Thinking).
Padahal, pola hafalan justru akan membelenggu kebebasan berpikir tingkat tinggi siswa. Inilah sebabnya, mengapa siswa mengalami kesulitan ketika mengerjakan soal PISA atau TIMSS yang menuntut siswa berpikir tingkat tinggi. Alhasil, perolehan nilai siswa Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara lainnya.
Kebijakan penilaian model AKM menjadi solusi alternatif menumbuhkan tingkat berpikir siswa lebih tinggi. Di sisi lain, AKM juga diharapkan mampu meningkatkan daya saing siswa Indonesia sehingga  mampu bersaing dengan siswa negara lain  terutama dalam  standar penilaian bertaraf internasional semisal PISA, PIRLS maupun TIMSS. Namun demikian,  dapatkah penilaian AKM  berfungsi efektif di tengah pandemi COVID 19?