Mohon tunggu...
Erison Caesar
Erison Caesar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Student Center Learning (SCL): Sudah Efektif-Kah di Indonesia?

9 Juli 2015   15:51 Diperbarui: 9 Juli 2015   16:22 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia telah memasuki sebuah jaman baru, sebuah jaman yang dikenal dengan nama era globalisasi. Ketika masyarakat dunia mulai saling berinteraksi tanpa adanya hambatan yang berarti. Berbagai arus informasi, teknologi, dan komunikasi semakin memudahkan setiap warga dunia untuk mengetahui dan mengadopsi pengetahuan baru yang berasal bukan dari tempat kelahirannya. Berbagai aspek kehidupan mulai merasakan dampak dari derasnya aliran perubahan ini. Tidak terkecuali di bidang pendidikan. Globalisasi kebudayaan mendorong setiap manusia di bumi untuk menjadi tahu, memahami, kemudian mempelajari nilai-nilai dan jenis pendidikan yang ada di seluruh dunia dan mengadopsinya.

Dewasa kini, semakin banyak berbagai dogma-dogma dan ajaran-ajaran asing yang masuk melalui sistem pendidikan kita. Namun, terkadang yang menjadi permasalahan adalah ketika kita mencoba mengadopsi sistem pendidikan asing tersebut ke dalam negeri, dengan harapan mampu memperbaiki kualitas pendidikan bangsanya, hal tersebut malah menjadi bumerang karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kultural dalam negeri, yang kemudian mengakibatkan adanya ‘cultural lack’. Padahal kita kita telah lama mengenal sebuah ‘pakem’ sistem pendidikan yang diajarkan oleh Bapak Pendidikan Kita, Ki Hajar Dewantara dengan konsep ‘Sistem Among’ dan ‘Trilogi Pendidikan’ di Perguruan Taman Siswanya. Namun agaknya saat ini penerapannnya masih belum banyak ditemukan.

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji penerapan Student Learning Center dalam negeri kemudian membandingkannya dengan sistem pendidikan berbudaya yang telah digariskan oleh Ki Hajar Dewantara dan memberikan solusi terbaik.

Mungkin sebagian dari kita telah mengenal sebuah sistem  yang bernama Inquiry Teaching Model, atau lebih mudah dikenal dengan nama Student Centered Learning (SCL). Ya, sebuah metode pembelajaran baru yang 'katanya' sedang nge-trend di belahan dunia manapun. Sebuah sistem yang menitikberatkan kepada proses dan diharapkan mampu meningkatkan critical thinking peserta didik. Dimana pendidik hanya berfungsi sebagai fasilitator, dan peran aktif peserta didorong untuk lebih banyak bertanya dan berdiskusi dalam kelas. Berbeda dengan Teacher Centered Learning (TCL) yang merupakan sistem konvensional pendidikan Indonesia, dimana pendidik hanya berdiri di depan kelas kemudian berceramah sendiri. Pendidik hanya berfungsi untuk menjalankan transfer ilmu dan menjadi semakin pintar karena kekuatan hafalannya sedangkan peserta hanya mampu menerima dan tidak berkesempatan megembangkan pemikirannya.

Jika dilihat sepintas, memang SCL menjadi alternatif terbaik untuk kebutuhan pendidikan Indonesia saat ini. Tetapi apakah sistem tersebut telah diaplikasikan dengan baik dan benar? Jika kita lihat kelas-kelas Indonesia sekarang, para pendidik sedang gencar-gencarnya mendorong semua siswa untuk aktif bertanya dan berdiskusi. Tidak peduli seberapa besar ukuran kelas dan seberapa kondusif pembelajaran berlangsung, pendidik mencoba memberikan kesempatan agar setiap peserta didik mendapat giliran untuk berbicara. Tidak jarang pendidik harus menunjuk salah seorang peserta, menggunakan nada tinggi seperti memerintah atau hanya menunggu bermenit-menit hingga ada peserta yang mengangkat tangannya. Hal tersebut nyatanya hanya dapat berakibat terganggunya psikologi peserta yg tidak terbiasa aktif, dan tidak mengefisienkan waktu pembelajaran karena pendidik juga harus menyelesaikan tugas nya untuk menyampaikan kurikulum yang berisikan berjibun materi dalam waktu yang singkat.

Tentu hal tersebut bertolak belakang dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara akan dunia pendidikan. Pendidikan dijalankan dengan esensi untuk membangun manusia seutuhnya, yaitu manusia yang baik dan berkarakter. Pada tanggal 3 Juli 1922, KHD menawarkan sebuah konsep yang disebut Sistem Among, dimana peserta didik disokong berdasarkan kodratnya bukan karena paksaan/perintah. Metode pengajaran dan pendidikan didasarkan pada cipta, karsa, dan rasa. Seseorang didorong untuk berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan disesuaikan dengan bakat dan kemampuannya serta mampu menghargai dan menghormati setiap orang. Adapun bentuk penerapan sistem SCL yang disesuaikan dengan sistem among KHD bisa dilakukan sebagai berikut :

Pertama, bentuk kelas dengan ukuran sekecil-kecilnya, maksimal peserta didik dalam satu kelas adalah 18 - 20 orang. Dengan jumlah peserta didik yang sedikit, diharapkan pendidik mampu mengukur dan mengenali kemampuan setiap peserta didiknya kemudian menyesuaikan metode pengajarannya dengan kemampuan penerimaan peserta didik masing-masing. Selain itu, kelas kecil mampu meningkatkan kondusivitas pembelajaran dalam kelas karena tidak akan menimbulkan kegaduhan seperti di kelas-kelas besar sehingga peserta didik dapat fokus memperhatikan pembelajaran. Kedua, setiap pendidik diharapkan mampu menjadi teladan untuk memberikan contoh. Pendidik tidak hanya bertugas untuk mentransfer ilmu sesuai kurikulum, namun juga mentransfer nilai-nilai kehidupan dan spiritual, sehingga mampu membangun kepribadian peserta didik yang berkarakter. Pendidik yang memiliki teladan yang baik akan dihormati oleh peserta didiknya sehingga komunikasi dua arah mampu berjalan dengan baik sehingga peserta dapat berperan aktif. Hal ini sesuai dengan trilogi pertama KHD yaitu ing ngarsa sung tuladha. Ketiga, setiap pendidik harus mampu memposisikan diri sebagai seorang kawan, yang mampu menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan mampu merangsang ide dan kreativitas peserta didik. Dengan suasana yang menyenangkan, seorang peserta didik menjadi merasa nyaman dan tidak tertekan untuk menyuarakan pendapatnya. Hal ini sesuai dengan trilogi kedua KHD yaitu ing madya mangun karsa. Dan terakhir, sebagai seorang pendidik, mereka harus mampu menjadi seorang ibu yang selalu memotivasi dan mendorong setiap peserta didiknya untuk berkembang dari belakang. Setiap pendidik harus mampu mengukur, mengenali, dan membantu pencapaian target di setiap peserta. Penting dipahami bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kemampuan yang tidak sama. Oleh sebab itu, sesuai dengan trilogi ketiga KHD yaitu Tut Wuri Handayani pendidik tidak boleh menyamaratakan kemampuan setiap peserta didik dengan sebuah sistem yang sama yang dianggap paling benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun