The Tradition menggabungkan keindahan alam dengan realitas pahit kekerasan. Puisi ini dimulai dengan pembicara yang menanam bunga, menunjukkan hubungan mendalam dengan alam melalui baris "Aster. Nasturtium. Delphinium" (Brown, 2019, para. 1). Panas matahari kemudian disinggung, mengisyaratkan persoalan lingkungan. Pembicara dan saudara-saudaranya merekam bunga sebagai bukti keberadaan mereka, seperti dalam baris "for proof we existed before/ too late"Â (Brown, 2019, para. 10-11). Keindahan bunga yang mekar dilukiskan dengan kaya dalam baris "colors you expect in poems/ where the world ends" (Brown, 2019, para. 12-13). Namun, puisi ini berakhir dengan nada muram, menyebut nama-nama pria kulit hitam yang menjadi korban kekerasan polisi.
Membaca puisi ini sangat menggugah. Kontras antara citra alam yang indah dan kenyataan pahit membuatnya semakin kuat. Puisi ini mengingatkan saya akan pentingnya menjaga kenangan dan identitas, seperti terlihat dalam baris "Men like me and my brothers filmed what we/ Planted for proof we existed before" (Brown, 2019, para. 10-11).
Isu utama dalam puisi ini adalah kekerasan rasial, diperkuat dengan penyebutan nama korban seperti John Crawford dan Eric Garner. Perpaduan antara keindahan dan tragedi ini menggambarkan rapuhnya kehidupan dan pentingnya melawan ketidakadilan.
Pesan puisi ini adalah untuk mengenang mereka yang telah tiada dan memperjuangkan keadilan. Saya setuju dengan pesan ini, yang menginspirasi saya untuk lebih menghargai kehidupan dan sejarah orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H