Sometimes there’s so much beauty in the world..
Sometimes you feel like you can’t take them…
Sometimes..
03.45 WIB Belum bisa tidur..masih berkutat dengan segala tugas yang menumpuk. Ah, kuraih laptop mungilku. Sudah berbulan-bulan tak lagi mengisi tulisan di blog ini. Aku maklum..Inspirasi selalu datang sewaktu dini hari. Tapi belakangan aku tidak lagi tidur selarut dulu. Terlalu letih dengan aktivitas..SETIAP HARI !! Rasanya ingin cuti sebentar saja. Lalu ke Jakarta..Blitar…Surabaya. Tapi seminggu takkan cukup. Terlalu banyak agenda yang harus kuselesaikan kalau mengunjungi ketiga daerah itu. Hehehe.. Diatas semuanya, pastilah Karimun Jawa menjadi top destination !! Hahahah..someday…yes, someday. Ehm, jadi teringat..temanku satu kantor, si Momo (Moulina Siregar) dalam waktu dekat akan tugas ke Taiwan. Hahaha..semoga dia ingat oleh-olehku. Tulisan ini kok semakin ngawur dan berantakan ya? Lagu Macy Gray “Beauty In the World” kuputar di Windows Media Player. Pertama dengar lagu ini waktu nonton film “A Little Bit of Heaven” di bioskop. Ceritanya tentang Marley Corbett alias Kate Hudson, perempuan cantik yang berprofesi sebagai marketing jenius dan baru saja diangkat menjadi Vice President di perusahaannya. Karir yang terbilang sukses untuk wanita berambut pirang dan bertubuh kecil ini. Tapi tak begitu dengan kisah cintanya. Easy Come..Easy Go. She needs no relationship !! Baginya berhubungan dengan seorang lelaki hanyalah sebatas having fun. Takkan pernah ada istilah tautan hati dalam kamus percintaannya. Belakangan aku tahu..itu karena, di film itu, she feels so bad tentang sikap ayahnya yang temperamental dan emosional, khususnya kepada ibunya. Intinya, dia menganggap semua lelaki sama saja. Sampai akhirnya suatu hari dia divonis mengidap kanker oleh seorang dokter. Stadium akhir. Dunia pun berputar. Karir suksesnya tidak akan berarti kalau umurnya hanya tinggal hitungan bulan. Namun perawatan intensif yang diterimanya di rumah sakit justru semakin mendekatkannya dengan dokter pribadinya, Julian Goldstone alias Gael Garcia. Kepada pria kelahiran Meksiko inilah akhirnya ia benar-benar merasakan jatuh cinta. Begitupun, ia terkadang emosi dan tidak terima, karena cintanya hadir justru ketika umurnya tidak lama lagi. Namun penyakitnya tidak membuatnya feel down. Ia justru berbagi keceriaan dan kebahagiaan bersama teman-temannya. Bahkan ketika perusahaan tempatnya bekerja memberikan santunan kesehatan sebesar 500.000 dolar AS, ia membelanjakan semua uangnya untuk membelikan kado dan surprise untuk teman-temannya. “Aku tidak butuh pakaian dan barang-barang baru. Buat apa? AKu toh tidak akan bisa menggunakannya,” katanya ketika Ibunya memilihkan sebuah gaun cantik untuknya. ……. Rasa dendamnya kepada ayahnya tak kunjung sirna. Bahkan ketika diajak bertemu oleh sang ayah di sebuah restoran, ia memang datang. Tapi tak mampu menghilangkan emosinya ketika ayahnya tetap bersikap dingin. Ia lari keluar restoran, menyetop sebuah taksi, namun berhenti ketika ayahnya ternyata sudah berlari menyusulnya. “Ingatkah ketika kau masih kecil? Kau pernah bilang kalau kau tidak pernah menginginkan lahir dan memiliki ayah sepertiku. Kata-kata itu sangat menyakiti perasaanku. Dan sekarang, aku ada disini karena putri kecil kesayanganku sedang sakit keras. Tolong beritahu apa yang harus kulakukan. Karena aku tidak tahu…aku hanya tahu bahwa aku menyayangimu,” ujarnya berderai air mata. Marley terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Kau baru saja melakukan apa yang harus kau lakukan, Ayah,” katanya perlahan sambil berjalan memeluk ayahnya. Mereka menangis sesenggukan. Air mata tak bisa berhenti mengalir. Puluhan tahun, mungkin hanya kalimat “Aku menyayangimu” yang selalu dinanti Marley dari ayahnya. Sebelum kondisinya semakin parah, Marley mengajak ibunya membuat konsep pemakaman seperti apa yang dia inginkan. Kali ini berbeda dengan pemakaman lainnya. Ia tidak ingin ada kesedihan. Ia hanya ingin semua yang datang di pemakamannya bisa tertawa dan menari bahagia. “Aku ingin mereka mengenangku dengan cara yang bahagia seperti itu,Ibu,” katanya. Ibunya hanya mengangguk perlahan meski kemudian air mata yang tak terbendung itu terus mengalir. Ia juga tak lupa menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Termasuk belajar berdansa, satu hal yang tidak pernah ia lakukan selama ini. Bersama Julian, ia menghabiskan hari-hari terakhirnya penuh cinta. Sampai akhirnya kondisinya semakin melemah dan akhirnya meninggal di hadapan kekasihnya itu, setelah mengucapkan “I Love You”. Dan benar, pemakamannya layaknya sebuah pesta. Penuh gelak tawa dan suka cita. Berbagai petasan warna-warni mengelilingi mereka yang datang. Hadiah dan surprise tak terkira pun telah dipersiapkan Marley kepada teman-temannya. Filmnya usai..tapi aku masih belum beranjak dari kursi bioskop berwarna merah itu. Konflik scenario yang begitu sempurna. Aku masih mencoba mendeskripsikan, film itu sebenarnya bergenre kesedihan atau kebahagiaan. Sepanjang film diputar, mungkin puluhan kali sudah aku tergelak melihat lelucon dan keceriaan di wajah Marley. Tapi jumlah yang sama juga berlaku ketika aku menghela nafas melihat kesedihan di balik setiap kata-katanya. Lalu ini film apa? Sedih kah? Atau bahagia? Aku tersenyum. Aku sudah dapat jawabannya. Lampu bioskop dihidupkan. Aku berdiri dan berjalan ke luar. Masih tersenyum. Aku sudah dapat jawabannya,pikirku. Ya, tidak ada jawaban kali ini. Pertanyaan yang kubuat sendiri tadi tidak membutuhkan jawaban. Marley mungkin hanya ingin membagikan kebahagiaan yang selama ini menjadi mimpi di hidupnya. Beberapa jam sebelum ia meninggal, ia sempat berkata “Aku tidak akan berdoa supaya Tuhan tidak memanggilku. Aku hanya mau berdoa supaya rasa cinta ini tetap ada. Buat apa aku hidup kalau tidak memiliki cinta. Aku rela pergi asalkan indahnya cinta ini tetap bisa kurasakan”. Aku sadar..harus sadar. Begitu banyak kebahagiaan di dunia ini yang harusnya kusyukuri. Tidak dengan mengumpat dan berkeluh kesah terhadap semua kemalangan dan kesedihan hati. Dengan mengeluh, aku mungkin akan kehilangan setiap detik kebahagiaan yang sebenarnya bisa aku rasakan. Dengan mengurung diri, aku pasti ketinggalan setiap momen yang harusnya bisa terbingkai indah dalam memoriku. Kesedihan..oh sudahlah. Siapa yang membutuhkannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H