Saya membayangkan, betapa indahnya negeri ini kalau penduduknya tersebar secara merata, begitupun pembangunannya. Dari Sabang sampai Merauke. Tidak ada provinsi yang terlalu maju, moderen, sementara yang lain masih tradisional, bahkan primitif.
Tapi itu baru mimpi (mimpi kale yee...hehehe). Sejak Indonesia merdeka, bahkan mungkin jauh sebelumnya, sampai hari ini, semuanya masih serba timpang. Nyatanya, sekitar 60 persen lebih penduduk negeri ini (sekitar 141 juta jiwa per 2012) terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pulau yang luasnya hanya 128.297 KM2. Jadilah Pulau Jawa sebagai pulau terpadat di dunia!
Padahal masih banyak pulau lain di Indonesia yang luasnya berkali-kali lipat dibanding Pulau Jawa. Sebut saja misalnya, Pulau Kalimantan luasnya mencapai 539.460 KM2, Sumatera 443.066, Papua 421.981 KM2 dan Pulau Sulawesi luasnya 180.681 KM2. Tapi apa hendak dikata, pulau-pulau yang luas itu hanya dihuni segelintir orang saja. Papua yang hampir empat kali lipat luasnya dibanding Pulau Jawa bahkan hanya dihuni sekitar 7,5 juta jiwa. Oh...Sungguh timpang..!
Makanya jangan heran, harga tanah di Pulau Jawa berkali-kali lipat dibanding pulau-pulau lain. Tak perlu juga heran, banyak orang rela tinggal di kolong jembatan bahkan kolong tol. Itu ya, di Pulau Jawa, mungkin tak terjadi di pulau-pulau lain. Lihat saja kalau Jakarta dilanda banjir, ketika tivi-tivi nasional meliput dan menayangkan lokasi-lokasi yang terkena banjir. Biasanya terlihat dengan jelas, betapa banyak warga masyarakat yang tinggal di gang-gang sempit dengan rumah seadanya. Ya, mau gimana lagi, harga tanah dan rumah sungguh mahal. Apalagi di Jakarta.
Karena penduduk terkonsentrasi di Pulau Jawa, tentu saja pembangunanpun sejak dulu (mungkin sejak kuda makan batu, hehehe...) terkonsentrasi di pulau yang rawan gempa, tsunami dan letusan gunung berapi ini. Apa boleh buat, gedung-gedung pencakar langit, mall-mall, jalan-jalan licin beraspal, jalan toll, sekolah-sekolah top, perguruan tinggi terkenal dan apa saja yang hebat, lebih dulu ada di Pulau Jawa. Bahkan, boleh dibilang: terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Karena semua yang hebat dan top lebih dulu ada di Pulau Jawa, maka masyarakat dari berbagai pelosok di Tanah Air pun berbondong-bondong datang ke Pulau Jawa. Pulau Jawa tambah sesak, padat sungguh luar biasa. Bahkan, untuk mencari tanah kuburan saja sudah susah. Di Jakarta sudah biasa, satu liang atau satu kuburan diisi oleh beberapa orang. Alamak jang...(Terlalu....kata Bang Oma)
Era reformasi dengan sistem otonomi daerah memang sedikit memberi harapan. Bila era orla dan orba hampir segalanya dicurahkan di Pulau Jawa, memasuki era baru, era reformasi, harapan agar daerah-daerah di luar Pulau Jawa pembangunannya juga harus digesa mulai kembali berkobar. Otonomi daerah yang memberikan kekuasaan cukup besar kepada daerah-daerah, memungkinkan daerah-daerah memacu pembangunan di wilayahnya.
Sayangnya, lebih-kurang 13 tahun otonomi daerah berjalan, pembangunan yang diharapkan masih jauh dari harapan. Ada kemajuan memang. Namun, otonomi daerah yang dibarengi dengan sistem demokrasi yang cenderung liberal, telah membuat banyak daerah sibuk dengan urusan Pilkada, sementara pemimpin yang terpilih ternyata juga banyak yang korup. Karena mungkin saat mencalonkan diri harus mengeluarkan modal yang sangat besar. Akhirnya, roda pembangunan yang diharapkan berlari kencang, ternyata terseok-seok juga. Ya sudahlah, ini barangkali menjadi PR pihak Kemendagri dan DPR RI untuk membenahi sistem apa yang lebih baik untuk negeri tercinta Indonesia ini.
Kembali ke soal kepadatan penduduk dan terkonsentrasinya pembangunan di Pulau Jawa. Menurut hemat saya, kita harus menghidupkan dan menggalakkan kembali apa yang disebut dengan TRANSMIGRASI. Tapi tentu transmigrasi dengan konsep baru. Bila dulu kita lihat, transmigrasi hanya memindahkan penduduk ke hutan-hutan untuk membuat kebun atau sawah, mungkin ke depan tidak itu saja. Transmigrasi barangkali juga bisa dengan cara, memindahkan penduduk ke daerah-daerah pertumbuhan baru, dimana di sana terdapat pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan, sehingga masyarakat bisa mendapatkan pekerjaan atau menjadi tenaga kerja.
Untuk ini saya punya contoh. Dulu, Pak Habibie (mantan Menristek dan Presiden RI) pernah mengembangkan daerah Batam. Pulau Batam yang tadinya hutan belantara lalu disulap Pak Habibie menjadi kawasan pertumbuhan baru. Banyak bertumbuh industri-industri, pabrik-pabrik bahkan hampir menyaingi Singapura. Orang pun datang berbondong-bondong ke Batam mencari kerja. Dari Jawa terutama. Batam pun menjadi ramai.
Tentu saja, kita sangat yakin, Pemerintah RI juga bisa membuat daerah-daerah pertumbuhan baru di berbagai daerah di Indonesia sesuai dengan keunggulan daerah tersebut. Di Riau misalnya, saat ini terdapat sekitar 2,3 juta hektar kebun kelapa sawit atau 26,52 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Tapi sampai hari ini, kita belum bisa mengolah hasil sawit menjadi berbagai produk turunan sehingga memberikan nilai tambah (added value). Kita baru bisa mengekspor sawit gelondongan. Tidak lebih dari itu.
Bayangkan, kalau kita bisa mengolah hasil sawit menjadi berbagai produk turunan. Katakanlah sabun, obat-obatan, kosmetik dan lainnya, tentu akan menyerap ribuan bahkan mungkin jutaan tenaga kerja. Andai di Riau berdiri berbagai perusahaan pengolah hasil sawit, tentu masyarakat dengan senang hati akan ke sana untuk mencari penghidupan. Pemerintah tidak akan susah-susah memindahkan atau menyuruh pindah masyarakat ke Riau, karena di sana sudah ada tempat bekerja yang baru. Hal serupa juga bisa dilakukan pemerintah di daerah-daerah lain sesuai dengan keunggulan daerah tersebut. Akhirnya, penduduk Indonesia bisa menyebar kemana-mana. Tidak hanya berjubel di Pulau Jawa. Bahkan mungkin persoalan macet pun di Jakarta yang sudah sangat-sangat kronis akan ikut terpecahkan, karena orang berangsur-angsur pindah dari Pulau Jawa, termasuk Jakarta ke daerah lain yang juga tidak kalah menjanjikan.
Sekali lagi, saya sangat yakin, kalau pemerintah punya komitmen yang kuat untuk itu, semua bisa dilakukan. Apalagi APBN kita dari tahun ke tahun juga terus naik. Tahun 2014 saja APBN kita sudah mencapai angka sekitar Rp 1.816,7 triliun. Belum lagi APBD dari masing-masing provinsi, kabupaten dan kota. Indonesia negeri yang kaya-raya. Tinggal bagaimana mengarahkan uang ribuan triliunan itu untuk hal-hal yang benar-benar prioritas. (Kalau digunakan untuk membangun proyek Hambalang tentu sia-sia...hehehe...)
Memang, terkadang begitu kita bicara tentang transmigrasi, sebagian orang langsung pesimis, apatis bahkan dengan mengedepankan ego suku dan kedaerahan ada yang menolak. Tapi kalau kita mau berfikir jernih dan kembali mengingat bahwa para founding father (para pendiri bangsa) telah menyepakati bentuk negara ini adalah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), maka sejatinya, siapapun dia, apapun sukunya, selama dia adalah warga negara Indonesia, dia berhak untuk tinggal dan hidup di daerah manapun di negeri ini, dari Sabang sampai Merauke. Tapi kalau kita berfikir bahwa orang Jawa sebaiknya tinggal di Jawa saja, orang Kalimantan di Kalimantan saja, Papua di Papua saja dan seterusnya, maka mungkin kita perlu duduk bersama lagi untuk memecah-belah negeri ini menjadi beberapa negara bagian. Disintegrasi..! Wallahu'alam...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H