Mohon tunggu...
erisman yahya
erisman yahya Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah, maka kamu ada...

Masyarakat biasa...proletar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Jadi Kepala Daerah Hanya Sebuah Prestise

10 Juli 2017   19:40 Diperbarui: 10 Juli 2017   19:54 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanpa sengaja, saya mengklik sebuah berita yang kira-kira kutipannya begini : "Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedikitnya 534 orang yang sudah masuk penjara, termasuk 17 orang gubernur dan ratusan bupati/walikota disebabkan kasus korupsi".

Saya tercenung membaca berita ini. Lalu pemikiran saya melayang ke kampung halaman sendiri, yakni Provinsi Riau.

Jika tak ada aral melintang, Riau akan menjadi salah satu provinsi yang ikut dalam helat pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak pada Juni 2018 mendatang. Saat ini saja, aroma itu sudah sangat terasa. Ini misalnya ditandai dengan mulai bertebarannya baliho atau spanduk yang isinya menyatakan ingin maju sebagai calon Gubernur Riau.

Pemikiran saya pun semakin berkecamuk, lalu memunculkan sebuah pertanyaan menarik, "Kenapa ya, masih sangat banyak orang yang berminat mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Padahal jadi kepala daerah saat ini tidaklah seenak seperti zaman dulu, yang kebal hukum. Tak mungkin masuk penjara. Sementara sekarang ganti-berganti kepala daerah yang ditangkap aparat, lalu dijebloskan ke penjara?"

Pertanyaan ini bahkan sempat saya lontarkan kepada seorang sohib. Tapi sang sohib dengan enteng menjawab, "Ya iyalah. Siapa sih yang tak mau jadi kepada daerah? Namanya juga pemimpin, ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Kemana-mana disambut, dilayani dan dihormati," begitu katanya, dengan mimik lepas.

Saya hanya tersenyum mendengar jawaban itu. Lalu mulai menghitung figur-figur yang sudah menyatakan diri ingin maju mencalonkan diri sebagai Gubernur Riau pada Pemilihan Gubernur Riau (Pilgubri) 2018 itu. Andai saya tidak silaf, tidak kurang dari 10 figur yang sudah menyatakan diri ingin bersaing memperebutkan kursi Riau 1 itu. Cukup banyak bukan?

Banyaknya figur yang ingin bersaing, barangkali juga karena faktor perubahan regulasi, dimana saat ini seorang yang sedang menjadi pejabat negara seperti bupati/walikota, tidak mesti mundur dari jabatannya jika ingin mencalonkan diri. Cukup cuti saja. Jadi, kalaupun nanti tidak terpilih, tidak jadi soal. Tetap bisa kembali ke jabatan semula. Makanya tidaklah heran, kalau hampir seluruh bupati/walikota di Riau, berlomba-lomba menyatakan diri ingin maju sebagai calon Gubernur Riau. Hal yang sama mungkin juga terjadi di provinsi yang lain.

Tapi kembali ke persoalan semula, apakah tidak terbersit rasa takut atau khawatir dari sang figur yang ingin maju mencalonkan diri tersebut? Kalau kita berkaca kepada kondisi ril di masyarakat, kita masih dihantui oleh sistem politik berbiaya tinggi (high cost politic). Mulai dari soal "perahu" partai yang pasti tidak gratis hingga perilaku masyarakat yang mayoritas masih sangat pragmatis. Rasanya hanya mimpi seorang calon yang punya kapasitas dan kapabilitas tapi kurang "gizi" bisa menang dalam suatu kompetisi Pilkada. Mayoritas yang memenangi ajang Pilkada adalah calon yang bermodal besar selain memang memiliki kapasitas dan kapabilitas.

Kalaupun sudah terpilih, ternyata persoalan belum selesai. Jika orientasinya menjadi kepala daerah ingin mengembalikan modal besar yang sudah diserak selama masa kampanye, maka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power lebih besar. Biasanya kepala daerah yang seperti ini cepat atau lambat bakal berurusan dengan aparat hukum, lalu dijebloskan ke penjara. Waduh, ternyata menjadi kepala daerah di zaman ini tidaklah seindah yang dibayangkan!

So what gitu loh...? Barangkali, melihat dan berkaca dengan kondisi perpolitikan di tanah air yang belum sesuai harapan, mungkin lebih baik berfikir seribu kali untuk maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Kalau memang punya modal yang cukup disertai kapasitas dan kapabilitas, lalu kalau terpilih pun tidak berfikir sama sekali untuk membalikkan modal kampanye apalagi menumpuk pundi-pundi tujuh turunan. Menjadi kepala daerah memang hanya untuk mengabdi kepada masyarakat, selain prestise yang akan dicatat dalam riwayat hidup, figur seperti ini yang barangkali layak maju dan terpilih. Di luar itu, saya ragu. Karena saya dan seluruh masyarakat Riau pasti tidak mau kasus hatrick atau tiga Gubernur Riau berurusan dengan KPK karena karus korupsi bisa-bisa bertambah lagi. Wallahu'alam...          

  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun