Hidup ini memang hanya sandiwara. Mungkin karena sandiwara itulah, banyak di antara kita hidup dalam kepura-puraan. Ya, namanya juga sandiwara. Tidak sebenarnya. Kepura-puraan itu makin terasa manakala kita melihat banyak hal di negeri ini. Paling tidak, saya mencatat kepura-puraan itu dalam beberapa hal, yakni: Pertama, kita pura-pura menganut sistem presidensial. Padahal dalam kenyataannya, presiden tidak pernah bebas memilih para pembantunya. Intervensi atau campur-tangan selalu datang terutama dari partai politik. Lho kan sistem presidensial, kok ada campur-tangan? Ya begitulah, kan hanya pura-pura.
Kedua, kita pura-pura menganut sistem bikameral atau sistem dua kamar di parlemen. Satu wakil dari partai yang menjadi legislator atau anggota DPR RI, satu lagi wakil daerah yang duduk sebagai senator di DPD RI. Tapi dalam kenyataannya, para senator di DPD RI hampir tidak punya kekuasaan apa-apa dalam membentuk undang-undang. Mereka hanya bisa sebatas mengusulkan. Lha, apa bedanya dengan LSM atau organisasi tingkat RT? Bukankah LSM atau organisasi apapun bisa juga menyampaikan usulan? Ya, bedanya dengan LSM mungkin hanya soal gaji dan tunjangan. Kalau soal itu, DPD memang setara dengan DPR. Kalau gaji pegiat LSM pasti jauh di bawah itu.
Suatu ketika, belum lama ini, pakar birokrasi Prof Dr Ryaas Rasyid dalam pertemuan yang digelar Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) mengusulkan agar lembaga DPD sebaiknya dibubarkan saja kalau wewenangnya cetek seperti itu. Sementara anggaran negara yang dihabiskan sangat besar. Sangat tidak sebanding dengan hasil kerjanya. Kalau mau dipertahankan juga, berikan DPD kewenangan layaknya senator di negara-negara demokrasi yang sudah maju.
Ketiga, kini era dimana banyak pejabat suka sekali dengan pencitraan. Itu kan juga pura-pura toh. Pura-pura peduli dengan rakyat kecil atau orang miskin dan terlantar. Pura-pura hidup sederhana. Pura-pura baik dan dermawan. Pura-pura akrab dan perhatian dengan rakyat bawah. Pokoknya pura-pura alias sebenarnya tidak riil. Aslinya tidaklah begitu. Wong hanya pura-pura. Apalagi menjelang Pilkada 9 Desember 2015. Buanyak calon kepala daerah yang hidup dalam kepura-puraan. Tapi biasanya setelah Pilkada usai, mereka akan kembali ke wujud aslinya.
Keempat, pura-pura dibentuk lembaga pengawas. Misalnya untuk pengawas Pilkada ada Bawaslu. Terakhir, Menpan & RB juga membentuk lembaga pengawas Pilkada, khususnya mengawasi para ASN yang terlibat dalam Pilkada. Seharusnya, lembaga ini benar-benar mengawasi proses dan jalannya Pilkada. Tapi faktanya, di banyak tempat atau daerah, mereka hanya berpura-pura menjadi pengawas.
Sangat banyak pejabat ASN yang terlibat langsung memobilisasi massa, yang biasanya untuk mendukung incumbent atau calon dari incumbent, tapi tidak mendapat sanksi apa-apa dari lembaga-lembaga pengawas itu. Ya, namanya juga pura-pura. Tapi saya tentu tidak men-generalisir. Mungkin ada juga Bawaslu atau lembaga pengawas yang benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik.
Terakhir, hari-hari belakangan ini, mungkin makin banyak saja orang yang pura-pura kenyang. Padahal sebenarnya sangat lapar karena tidak punya duit lagi untuk beli sembako yang harganya makin melambung tinggi. Apalagi, angka pengangguran alias orang tak punya kerja makin meningkat. Baru saja saya membaca, angka pengangguran di negeri ini kini ada di angka sekitar 7,56 juta orang terutama akibat PHK.
Begitu banyak ternyata kepura-puraan di sekitar kita. Sayangnya, saya dan pasti banyak orang di negeri ini tidak punya pilihan kecuali tetap tinggal dan menetap di negeri pura-pura ini. Mari kita nikmati saja hidup dalam kepura-puraan ini. Siapa tahu di masa mendatang, nasib kita lebih baik. Negeri kita lebih baik. Amin...YRA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H