Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana dulu Go-Jek yang baru berdiri dan dikenal masyarakat, mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Pendiri Go-Jek, Nadiem Makarim laris diundang berbagai media untuk diwawancara. Presiden Jokowi bahkan ikut memuji, karena dianggap mampu memberikan pelayanan baru kepada masyarakat dengan cara yang lebih mudah (sesuai dengan perkembangan teknologi terkini), dan tentu saja lebih murah.
Para driver atau pengemudi ojek sebagai pelaku utama bisnis ini juga dengan senang hati melayani penumpang, karena merasa pendapatannya jauh lebih besar dari biasanya. Ojek pangkalan (sebutan untuk pengemudi ojek yang tidak berbasis online) pun semakin tersingkirkan dalam persaingan jasa transportasi ini.
Tapi, kebahagiaan dan kenyamanan ini ternyata tidak berlangsung lama. Selasa, 04 Oktober 2016, ribuan pengemudi Go-Jek menggemparkan publik dengan menggelar aksi demo di depan Kantor PT Go-Jek Indonesia, kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Berbagai spanduk digelar. Umpatan dan kritikan pun dilontarkan yang tentu saja dialamatkan kepada manajemen PT Go-Jek Indonesia.
Rupanya, para pengemudi Go-Jek mengaku tidak puas dengan sistem performa yang diberlakukan PT Go-Jek Indonesia. Akibat sistem ini, menurut para pengemudi, mereka merasa dirugikan karena tidak bisa (sulit) mendapatkan bonus atau penghasilan yang lebih besar. Sementara di sisi lain, pihak PT Go-Jek beralasan, sistem ini diberlakukan antara lain karena ingin memberikan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen (masyarakat pelanggan Go-Jek). PT Go-Jek mengaku menerima banyak keluhan terkait penyelesaian order dari konsumen.
Tentang hal ini, saya pribadi juga pernah punya pengalaman yang kurang mengenakkan. Begitu saya pesan Go-Jek dan pengemudinya sampai di tempat saya, melihat barang yang ingin saya kirim agak banyak, pengemudinya pun menolak secara halus dengan cara melempar ke temannya sesama pengemudi. Tentu saja saya kecewa.
Kembali ke soal demo-mendemo ini, kadang kita sebagai bangsa seolah sudah “terjerembab” dari ajaran luhur yang dulu diwariskan para founding fathers. Ajaran atau semangat “musyawarah untuk mufakat” yang dulu kita pegang teguh sebagai bangsa dan selalu diajarkan di bangku-bangku sekolah, sekarang seakan sudah basi tak berguna lagi.
Di era yang kita klaim sebagai era reformasi ini, aksi demo seolah sudah menjadi salah satu solusi terbaik setiap masalah muncul. Kita merasa lebih “gagah” kalau kita mampu mengumpulkan banyak orang untuk berdemo. Di sisi lain, pihak yang didemo biasanya juga baru luluh kalau sudah didemo. Makanya tidak heran, bila akhirnya setiap hari, kita pun harus menyaksikan ada saja aksi demo. Alamak jang...Pening aku...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H