Mohon tunggu...
erisman yahya
erisman yahya Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah, maka kamu ada...

Masyarakat biasa...proletar

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Awas Fenomena Negatif Pasca Pilkada

21 Desember 2015   12:08 Diperbarui: 28 Juni 2018   11:08 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pesta demokrasi berupa Pilkada serentak yang berlangsung di 224 kabupaten, 36 kota dan beberapa provinsi telah usai dilaksanakan. Banyak KPUD yang sudah menggelar pleno dan menetapkan pasangan calon (paslon) terpilih dan yang tidak terpilih. Selanjutnya tentu, kalau paslon yang kalah tidak mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), masyarakat tinggal menunggu hari yang sakral, yakni hari pelantikan paslon terpilih secara resmi sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sakral, karena pada hari itu paslon terpilih dilantik dan disumpah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.

Kita mengapresiasi masyarakat yang telah mengikuti secara baik tahapan demi tahapan Pilkada serentak. Meski di beberapa daerah diwarnai intrik dan strategi jahat, Pilkada serentak pada 09 Desember lalu ternyata berlangsung relatif aman dan lancar. 

Kalaupun sedikit ada riak-riak keributan, ya biasalah. Namanya juga orang pesta, masak tak ada piring yang pecah? Kalau piringnya pecah semua, itu baru ga bener, hehehe...

Usai Pilkada, seluruh masyarakat tentu berharap akan ada perubahan ke arah yang lebih baik. Tapi faktanya, kadang di beberapa daerah justru muncul fenomena negatif, yang seharusnya tidak terjadi di sebuah negara yang mengakui dan menjalankan nilai-nilai demokrasi. Apa saja fenomena itu? Berikut ulasannya. Cekidot...

Pertama, paslon yang kalah tidak mengakui kekalahannya. Lalu melakukan provokasi dan agitasi di tengah masyarakat. Bahkan berupaya menyulut emosi para pendukungnya agar melakukan tindakan anarkhis.

Seyogyanya, paslon yang kalah dengan gentle menerima kekalahannya. Apalagi sebelum Pilkada digelar, semua paslon sudah melakukan deklarasi “siap kalah dan siap menang”. Kalaupun ada keberatan karena kemungkinan ada kecurangan, seharusnya diteruskan/disalurkan ke pihak yang berwenang (dalam hal ini MK) sesuai aturan yang berlaku.

Akan lebih baik lagi, bila paslon yang kalah segera menyampaikan ucapan selamat kepada paslon yang menang dan meminta seluruh pendukungnya untuk mendukung paslon yang menang, sebagaimana yang sering dipertontonkan para pemimpin di negara-negara demokrasi yang sudah maju. Cara seperti ini diyakini akan membuat suasana terasa lebih kondusif. Lebih mencair. Ini baru gentle...

Kita akui, budaya menerima kekalahan dan mengakui kemenangan orang lain dengan gentle memang masih agak langka di negeri ini. Kita sering dipertontonkan dengan kejadian-kejadian yang sejatinya tidak pantas terjadi di sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Misalnya, ketika seorang tokoh (atau merasa tokoh kali ya, hehehe) tidak terpilih menjadi ketua umum suatu partai, karena tidak bisa menerima, lalu ia membuat partai baru. Kejadian serupa juga sering kita saksikan di ormas-ormas, yang kemudian memunculkan dualisme kepengurusan.

Mudah-mudahan kasus-kasus seperti ini tidak terjadi di arena Pilkada, karena kalau paslon yang kalah ngotot tidak mau menerima kekalahannya, lalu (memaksa) membuat daerah baru (provinsi baru, kabupaten atau kota baru) agar di sana ia bisa menjadi kepala daerah, kan berabe juga tuh, hehehe...

Kedua, paslon terpilih paranoid dengan pemerintahan atau penguasa sebelumnya. Apapun yang berbau penguasa sebelumnya, dicap jelek. Tidak layak. Tidak pantas diteruskan. Harus disingkirkan. 

Fenomena ini biasanya terjadi manakala paslon yang menang adalah “musuh bebuyutan” penguasa sebelumnya. Begitu dilantik, biasanya tidak perlu menunggu waktu lama, semua hal yang masih beraroma penguasa lama, wajib disingkirkan. Maka, terjadilah perombakan secara besar-besaran, baik di jajaran pemerintahan, BUMD, bahkan sampai ke ormas-ormas yang selama ini menjadi mitra atau binaan pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun