Mohon tunggu...
erisman yahya
erisman yahya Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah, maka kamu ada...

Masyarakat biasa...proletar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Islam Nusantara dan Demokrasi Pancasila

29 Juli 2018   14:43 Diperbarui: 30 Juli 2018   10:33 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari belakangan ini istilah "Islam Nusantara" semakin trend dan bahkan semakin menimbulkan kontroversi. Apalagi sejak pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar dengan tegas menentang istilah itu. MUI Sumbar tegas menyatakan bahwa Islam sudah sempurna, sehingga tidak perlu lagi ada penambahan embel-embel seperti "Nusantara".

Sikap MUI Sumbar ini ternyata langsung direspon oleh MUI Pusat, yang menyayangkan sikap tegas MUI Sumbar itu. MUI Pusat rupanya masih melihat persoalan Islam Nusantara ini sebagai bagian dari persoalan fur'iyyah atau masalah cabang-cabang agama/bukan persoalan mendasar yang mesti memerlukan sikap tegas atau fatwa dari MUI.

Sampai pada titik ini, umat Islam dan tentu saja umat di luar Islam melihat bahwa trend persatuan umat Islam di Indonesia sepertinya bukan menunjukkan ke arah yang semakin baik dan bersatu, tapi justru menuju ke arah perpecahan bahkan bisa saja semakin meruncing.

Ada beberapa hal yang menurut hemat penulis perlu dipahami dan disikapi dengan amat sangat bijaksana. Karena sekali lagi, jika masalah Islam Nusantara ini disikapi dengan sedikit saja keluar dari frame agama dan "disisipi" oleh sikap-sikap politik, maka persoalan tidak akan menemukan solusi, tapi justru semakin meruncing dan semakin memecah-belah umat.

Pertama, istilah Islam Nusantara pertama kali dipopulerkan oleh mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi (HM). Semasa hidupnya, HM pernah mendialogkan istilah ini dengan Imam Besar FPI Rizieq Shihab (RS) yang sebelumnya sangat menentang Islam Nusantara.

Namun dalam pertemuan itu, RS bisa menerima dengan baik Islam Nusantara setelah HM menegaskan bahwa yang dimaksud Islam Nusantara adalah "Islam Rahmatan Lil 'alamin yang menyatu berurat-berakar dengan kehidupan masyarakat nusantara" (http://www.datdut.com/islam-nusantara-versi-habib-rizieq/).

Sebelumnya, RS menentang karena Islam Nusantara oleh sebagian orang dimanfaatkan untuk menunjukkan sikap kebencian kepada Arab. Segala sesuatu yang berkaitan dengan Arab atau budaya Arab sangat dibenci. Orang pakai sorban dihina. Pakai jenggot dianggap kolot dan lain sebagainya. Padahal sangat jelas, Islam lahir di Arab dan mencapai puncak kejayaannya di tanah Arab.

Ketika HM meninggal, RS dalam salah satu pernyataannya memuji HM. RS menyebut HM tidak sekadar seorang ulama, tapi juga sosok negarawan yang banyak memahami persoalan bangsa (portal-islam.id edisi Kamis, 16 Maret 2017).

Jika kita kembalikan apa yang dimaksud dengan Islam Nusantara sebagaimana disampaikan HM di atas, tentu saja sebenarnya tidak perlu menimbulkan persoalan, apalagi kontroversi.

Namun, kita juga tidak menutup mata bahwa Islam Nusantara akhir-akhir ini sudah masuk ke ranah politik. Ada terselip sikap dukung-mendukung presiden di sana.

Bahkan, ada juga sebagian penganut Islam Nusantara merasa sebagai orang Islam yang paling hebat tiada tanding. Kelompok lain salah semua. Sikap-sikap seperti ini kemudian menyulut api kebencian dan tentu saja perpecahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun