Rasanya semua kita pasti berasal dari kampung. Eiittt...Jangan negatif dulu ya. Kampung dalam pengertian tempat dimana kita dilahirkan dan dibesarkan. Sehingga tercipta dan tersimpan begitu banyak memori dalam ingatan, tentang masa-masa kita di kampung. Tentang teman-teman sebaya yang menjadi teman sepermainan. Tentang tempat-tempat favorit yang dulu jadi tempat kongkow. Tentang makanan yang kita sukai. Tentang orang-orang tua yang dulu kita hormati bahkan kita "takuti". Mungkin juga tentang si dia yang dulu jadi cinta pertama alias cinta monyet. Dan kenangan-kenangan lain yang tersimpan rapi di alam bawah sadar kita.
Kampung menjadi sangat dirindukan ketika karena sesuatu alasan, kita terpaksa pergi merantau ke negeri orang. Lalu, momen pulang kampung (pulkam) menjadi momen yang selalu ditunggu-tunggu. Tidak heran, bagi orang Indonesia, momen lebaran terutama Lebaran Idul Fitri dan Lebaran Haji misalnya, menjadi momen pulkam secara besar-besaran.
Namun yang ingin penulis sampaikan tentu bukan soal momen-momen pulkam itu. Tapi lebih kepada berbagai kesan atau mungkin kita sebut saja hikmah yang bisa diambil setiap kita berkesempatan untuk pulkam. Apalagi kalau kita baru pulkam dalam jangka waktu yang sudah cukup lama. Mungkin setelah 10 tahun. Belasan tahun. Bisa juga setelah puluhan tahun kita baru bisa menengok kampung lagi.
Apa kira-kira hikmah di balik pulkam itu? Pertama, kita semakin menyadari betapa singkatnya hidup di dunia yang fana ini. Sebab biasanya setiap pulkam, apalagi kalau kita baru pulkam setelah belasan atau puluhan tahun, kita akan menemukan fakta, bahwa sudah banyak orang-orang tua yang dulu kita kenal baik, ternyata telah pergi untuk selama-lamanya atau meninggal dunia. Kita hanya bisa mengenang mereka. Mengingat momen-momen kebersamaan tentang segalanya. Terasa waktu begitu cepat berlalu. "Si anu, si anu dan si anu tak ado lero nak...tinggal kami nen rekak-rekak go le...(Si anu, si anu dan si anu sudah meninggal dunia, nak. Tinggal kami yang tua-tua renta nih lagi)," begitu kira-kira cerita orang-orang tua di kampung yang masih hidup kepada kita.
Kedua, kita harus siap menerima kenyataan bahwa kita tidak sepopuler dulu lagi. Maksudnya, kalau dulu ketika kita masih tinggal di kampung, ke sudut kampung manapun kita pergi atau bermain, biasanya kita saling mengenal. Tapi begitu kita pulkam setelah sekian lama pergi, jangankan anak-anak kecil yang memang tidak pernah bertemu atau mengenal kita, orang-orang kampung pun yang dulu sangat mengenal kita, kadang juga mulai terlupa dengan diri kita. Ya maklumlah, namanya juga sudah lama ndak ketemu. "Ang sapo kini go nak. Tak obe rek mondek roma (ini siapa ya? Sudah lupa kami)," begitu kadang tanya orang-orang tua saat melihat kita. Â
Ketiga, rasa prihatin yang mendalam, karena kondisi kampung yang tak maju-maju. Walau sudah 72 tahun Indonesia merdeka, tapi pembangunan terasa begitu lamban. Dari dulu sampai sekarang, ya gitu-gitu aja. Tak banyak kemajuan. Rasanya begitulah kondisi mayoritas kampung-kampung di Indonesia.
Oleh karena itu, pembangunan yang dimulai dari kampung atau desa yang dicanangkan Pemerintahan Jokowi-JK memang harus kita dukung. Tapi anggaran miliaran rupiah yang dikucurkan pemerintah ke kampung-kampung untuk mempercepat pembangunan, harus pula diawasi dengan baik agar tidak disalahgunakan. Karena kadang di negeri ini, kemana duit mengalir, di situlah praktik korupsi menggurita. "Sajak ado bantuan dana untuak kampuang awak go, lah bolak-baliak Jakarta jo Pak Banjar awak le (sejak ada bantuan dana desa, Kepala Desa kita kerjanya kini bolak-balik Jakarta saja)," kira-kira begitu celoteh sebagian orang-orang kampung, hehehe...
Terakhir, terserah bapak/ibu melanjutkan, hehehe...Sip ya. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H