Mohon tunggu...
erisman yahya
erisman yahya Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah, maka kamu ada...

Masyarakat biasa...proletar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Andai Nabi Ibrahim Seorang "Pedagang"

28 Agustus 2017   18:50 Diperbarui: 28 Agustus 2017   19:30 1478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: indoberita.com

Jum'at, 01 September 2017 atau bertepatan dengan 10 Dzulhijjah, akan diperingati umat Islam se-dunia sebagai Hari Raya Idul Adha 1438 H. Hari raya ini atau juga disebut Hari Raya Kurban dalam sejarah Islam merujuk kepada kisah Nabi Ibrahim AS dan anaknya Nabi Ismail AS.

Alkisah, kedua utusan Tuhan itu diuji keimanannya, apakah cinta Nabi Ibrahim kepada anak satu-satunya Ismail melebihi cintanya kepada Allah SWT. Sebaliknya, apakah Ismail siap atau berani melaksanakan perintah Allah sekalipun nyawa taruhannya. Ibrahim pun diperintahkan Allah untuk menyembelih Ismail dengan pedang terhunus. Ternyata, keduanya berhasil melewati ujian super berat itu. Lalu, dikisahkan, Allah akhirnya mengganti Ismail dengan seekor domba untuk disembelih sebagai kurban.

Ketaatan keduanya mendapat banyak apresiasi dari Allah sebagai ibrah bagi umat manusia. Allah bahkan mengabadikan nama Nabi Ibrahim sebagai salah satu surah dalam Al-Quran, yakni Surah Ibrahim. Allah juga menyebut nama Nabi Ibrahim sebanyak 69 kali dalam Al-Quran dan menggelarinya dengan Khalilullah (kesayangan Allah). Sementara Nabi Ismail disebut Allah namanya sebanyak 12 kali dalam Al-Quran.

Namun, penulis ingin melihat sisi lain dari kisah Nabi Ibrahim ini, terutama ketika Nabi Ibrahim dalam sejarahnya harus (sesuai perintah Allah) meninggalkan istrinya Siti Hajar dan anaknya yang masih bayi Ismail di padang pasir yang tandus di Negeri Makkah. Tak terbayang, ketika itu secara manusiawi perang batin pasti terjadi di diri Nabi Ibrahim AS.

Lagi-lagi, keimanan dan ketaatan kepada Allah bagi Nabi Ibrahim adalah segala-galanya. Tanpa syarat. Untuk itu, apapun ia lakukan. Dan, ternyata Allah Yang Maha Kuasa juga tidak pernah menyia-nyiakan hamba-hamba-Nya yang taat. Dalam waktu yang tidak begitu lama, Allah segera memberikan karunia air melewati hentakan kaki mungil Ismail. Lalu, terpancarlah mata air yang kemudian kita kenal dengan nama Sumur Zam Zam.

Singkat cerita, negeri yang tadinya tandus itu akhirnya berubah menjadi negeri yang subur dan makmur. Hingga saat ini, Sumur Zam Zam tidak pernah kering. Sekalipun airnya setiap waktu diambil oleh umat manusia dari seluruh dunia yang datang ke Negeri Mekkah.

Lalu, pernahkah terlintas dalam fikiran kita, andai saja ketika itu Ismail sebagai penemu (Founder) Sumur Zam Zam dan bapaknya Nabi Ibrahim yang kemudian menguasainya, berusaha menarik keuntungan secara finansial dari keberadaan sumur itu. Di tengah padang pasir yang tandus, setetes air tentulah sangat berharga. Air pastinya menjadi sesuatu yang sangat mahal. Sementara keberadaanya pun sangat terbatas.

Tapi sekali lagi, Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail memberikan contoh teladan kepada umat manusia tentang indahnya berbagi. Dikisahkan, bahwa Nabi Ibrahim dan keluarganya   dengan suka rela memberikan air Zam Zam kepada setiap pedagang atau siapapun yang membutuhkan.

Nabi Ibrahim AS sebagai seorang rasul sekaligus pemimpin, ternyata tidak pernah berfikir untuk menarik keuntungan apapun. Andai itu ia lakukan, tentulah sampai hari ini, Sumur Zam Zam mungkin masih dikuasai anak keturunan Nabi Ibrahim. Barangkali kita yang ingin meneguk air Zam Zam, terpaksa merogoh saku dulu.

Barangkali karena itu pula, Nabi Ibrahim sebagai seorang pemimpin yang ikhlas berbagi dengan masyarakat yang dipimpinnya, hingga hari ini masih dikenang dan disholawati jutaan umat Islam. Bukankah dalam setiap ibadah sholat, umat Islam selain bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW, juga bersholawat kepada Nabi Ibrahim AS dan keluarganya.  

Sejarah memang selalu mencatat dengan tinta emas kisah-kisah pemimpin yang ikhlas berbagi dan berkurban demi masyarakatnya. Sebaliknya, sejarah pun selalu menista para pemimpin yang zolim, koruptif, pelit kedekut yang hanya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun