Mohon tunggu...
erisman yahya
erisman yahya Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah, maka kamu ada...

Masyarakat biasa...proletar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mereka Lebih Otoriter dari Soeharto

3 April 2014   22:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 2101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah berkali-kali saya mendengar cerita tentang sikap otoritarian dan adikuasa yang ditunjukkan seorang bupati. Penguasa di tingkat kabupaten itu seringkali bersikap semaunya, seenaknya tanpa ada yang berani mengoreksi apalagi melawan. Tentu saja saya tidak mengeneralisir semua bupati. Ada juga bupati yang menggunakan kekuasaannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.

Suatu hari, saya mendengar cerita bagaimana seorang bupati mengatur proyek agar semuanya dia yang menguasai. Di hari yang lain, saya juga mendengar bagaimana sang bupati memperlakukan para PNS. Dengan seenak udelnya dia melakukan promosi, mutasi bahkan demosi tanpa perlu mengacu kepada aturan kepegawaian. Jangan heran kalau di tingkat kabupaten kadang kita menemukan seorang kepala dinas teknis yang dulunya ternyata hanyalah seorang guru SD. Seorang PNS yang punya kredibilitas dan kapabilitas juga jangan pernah bermimpi akan mendapat promosi kalau sebelumnya tidak menjadi tim sukses sang bupati.

Di kesempatan yang lain, saya pernah menginjakkan kaki di suatu daerah dimana jalannya sudah hancur-hancuran. Padahal di daerah yang lain masih di wilayah kabupaten yang sama, jalannya justru relatif mulus-mulus. Saya bertanya kepada masyarakat di daerah tersebut, kenapa jalannya rusak parah dan terkesan tidak tersentuh pembangunan? Dengan enteng mereka menjawab “Dulu waktu Pilkada di kampung kami ini Pak Bupati kalah. Jadi kami ini dianggap tidak mendukung. Ya, akibatnya kampung kami tak diperhatikan,” ungkapnya.

Pada waktu yang lain lagi, saya mendapat cerita tentang kelakuan bejat sang bupati yang tega menjadikan stafnya sebagai budak seksnya. Masyaallah..! Staf tersebut tidak bisa menolak karena takut kepada sang bupati. “Beliau kan punya uang dan kekuasaan. Mana berani saya menolak,” begitu aku sang staf.

Baru-baru ini, saya mendapat cerita lagi, ada bupati yang membrifing semua kepala desa yang ada di wilayah kabupatennya agar memenangkan anak, kemenakan dan menantunya yang ikut menjadi caleg pada Pemilu 9 April mendatang. Tentu saja brifing itu disertai dengan ancaman yang menakutkan. Katanya, kalau sempat anak, kemenakan dan menantunya itu kalah, tidak terpilih, maka sang kepala desa siap-siap tidak menerima honor sepanjang tahun dan jangan pernah berharap bupati akan menyalurkan dana bantuan ke desanya nanti. Astagfirullah...Saya sampai mengurut dada mendengarnya.

Sebegitu adikuasanya kah seorang bupati? Sebegitu otoriternya kah seorang bupati? Apa tidak ada lembaga atau institusi yang bisa mengawasi tindak-tanduknya (melakukan check and balances)? Dimana DPRD selaku wakil rakyat? Dimana media massa yang katanya menjadi salah satu pilar demokrasi? Atau paling tidak, apa tidak ada LSM yang kritis, yang berani mengoreksi berbagai kebijakan bupati?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sempat berputar-putar diotak saya. Tapi apa hendak dikata, boleh dikata semua institusi tersebut, yang seharusnya bisa menjadi penyeimbang di era demokrasi, nampaknya mental kalau sudah berhadapan dengan kuasa seorang bupati. Apalagi, biasanya sang bupati adalah juga ketua partai penguasa di wilayahnya. Artinya, mayoritas anggota DPRD berasal dari partai pimpinan bupati. Coba saja berani mengritisi kebijakan bupati, bisa-bisa langsung keluar surat recall atau pemecatan sebagai wakil rakyat. Alamaaakkkk..!

Setali tiga uang dengan media. Yang tertarik dengan isu-isu lokal biasanya juga hanyalah koran-koran lokal atau media lokal. Mayoritas mereka kadang hidup dari iklan yang didapat dari Pak Bupati. Bagaimana mau mengritisi Pak Bupati kalau mulut sudah “tersumpal?” Atau kalau pun ada wartawan yang berani, siap-siap saja berhadapan dengan “orang-orang” bupati yang kadang tidak sungkan-sungkan menggunakan cara-cara kekerasan. Daripada nyawa melayang, lebih baik bikin berita yang menyanjung-nyanjung bupati. Siapa tahu bupati kasih iklan lagi, hehehe...

Mungkin akan lain ceritanya kalau kasus-kasus yang dilakukan bupati ini diungkap atau diangkat media nasional. Contohnya dulu pernah ada kasus Bupati Garut Aceng Fikri yang berakhir dengan pemberhentian oleh DPRD setempat. Sayangnya, media nasional terlalu sibuk dengan isu-isu nasional. Sehingga kasus-kasus di level kabupaten sering kali luput dari perhatian media nasional.

Memang, sejak otonomi daerah bergulir yang ditandai dengan lahirnya UU No 22/1999 tentang Otda, kekuasaan bupati menjadi luar biasa. Kekuasaannya mencakup dalam berbagai hal. Pasal 7 Ayat (1) UU No 22/1999 menyatakan, kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

Saking berkuasanya seorang bupati, menjadikan dia seolah raja kecil yang tidak ada tandingannya di wilayah kekuasaannya. Bahkan, dengan kekuasaan yang luar biasa itu, ada bupati yang merasa tidak perlu lagi loyal kepada gubernur sebagai penguasa provinsi dan wakil pemerintah pusat di daerah. Akibat banyaknya bupati yang bersikap mbalelo kepada gubernur, Mendagri sampai harus mengeluarkan PP No 19/2010, dimana salah satu pasalnya memberikan kewenangan kepada gubernur untuk menjatuhkan sanksi kepada bupati/walikota yang dianggap berkinerja tidak baik atau melanggar sumpah jabatan.

Kalau dibanding-bandingkan, bupati yang menggunakan kekuasaannya secara otoriter, mungkin boleh dikata lebih otoriter dari seorang Soeharto, mantan penguasa Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Pak Harto dulu walau terkenal otoriter dan menjadi musuh bersama saat-saat reformasi, tidaklah begitu semena-mena menggunakan kekuasaannya.

Saya bukan tidak setuju dengan kekuasaan yang besar di tangan bupati. Tapi seharusnya kekuasaan itu digunakan bukan untuk menindak rakyat, tapi untuk mengayomi, memajukan dan mensejahterakan rakyat. Kekuasaan yang besar itu seharusnya tetap berpedoman kepada nilai-nilai demokrasi, karena itulah salah satu mimpi besar otonomi daerah. Kekuasaan harus dijalankan secara demokratis, bukan seenak udel, otoriter dan bertangan besi. Oleh karena itu, harus ada institusi-institusi yang benar-benar bisa menjadi penyeimbang kekuasaan bupati agar bupati tidak lagi menjadi raja-raja kecil yang punya kekuasaan tanpa batas. Kontrol dari DPRD, media massa, LSM, termasuk mahasiswa dan kelompok-kelompok terpelajar lainnya ke depan harus lebih ditingkatkan lagi. Wallahu’alam....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun