Mohon tunggu...
Eris Putri Syakila
Eris Putri Syakila Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Hobi dengerin musik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Era Joko Widodo

30 Oktober 2024   00:15 Diperbarui: 30 Oktober 2024   00:15 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi salah satu masalah yang belum terselesaikan hingga sekarang. Setelah rezim otoriter orde baru tumbanag, tampak jelas bahwa praktir KKN selama ini terbukti telah menjadi tradisi dan budaya yang keberadaannya meluas. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) akhir-akhir ini dianggap sebagai wujud paling buruk dan paling ganas dari gejala kemerosotan moral dari kehidupan masyarakat dan bernegara di negeri kita. KKN adalah produk dari relasi sosial-politik dan ekonomi yang pincang dan tidak manusiawi. Relasi yang dikembangkan adalah relasi yang diskriminatif, alienatif, tidak terbuka, dan melecehkan kemanusiaan.

Pada era pemerintahan transisi di bawah Presiden BJ Habibie, istilah KKN diresmikan menjadi istilah hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tanggal 19 Mei 1999 tentang "Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme".  Pengertian dari masing-masing istilah dimaksud dapat diketahui berikut ini:

  • Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
  • Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara.
  • Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Di era Joko Widodo tiga istilah tersebut sangat sering dibacarakan. Karena banyak konspirasi-konspirasi yang menyangkut tiga istilah itu dan Bapak Joko Widodo. Yang pertama korupsi, dari tahun ke tahun yang semakin menambah bukan malah berkurang. Peran pemerintah yang kurang tegas kepada para pelaku karena disuap pun bisa. Lantas yang dibenahi sebenarnya siapa?

Korupsi

Pada tahun 2019 pemerintah merevisi UU KPK hingga keringanan hukuman dan putusan lepas menghiasi pemberitaan media dalam perkara yang ditangani KPK. Indonesia Corruption Watch (ICW), salah satu lembaga swadaya yang berfokus pada sikap antikorupsi, menyebut Presiden Jokowi tidak berkomitmen terhadap semangat pemberantasan korupsi.

"Setelah lembaga KPK dilemahkan melalui revisi UU KPK, saat ini Presiden malah memberikan pengurangan hukuman bagi narapidana kasus korupsi. Ini semakin menunjukkan bahwa rezim Joko Widodo memang tidak pernah menganggap pemberantasan korupsi sebagai sebuah entitas penting," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada reporter Tirto, Kamis (5/12/2019).

Pernyataan tersebut dibuktikan dengan skor indeks persepsi korupsi di era pemerintahan Jokowi yang relatif lebih tinggi dibanding era-era presiden sebelumnya. Skor tertinggi diperoleh pada indeks persepsi korupsi tahun 2019, yakni 40. Namun, di periode kedua kepresidenan Jokowi, skornya menurun menjadi 37 pada 2020, setahun setelah revisi UU KPK resmi berlaku. Meski sempat naik menjadi 38 pada 2021, namun skornya terjun empat poin menjadi 34 pada 2022. Indonesia terakhir kali memperoleh skor 34 pada tahun 2014.

Kemudian pada hasil Survei Perilaku Anti-Korupsi (SPAK) 2023 yang diadakan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa indeks perilaku anti korupsi (IPAK) tahun ini adalah 3,92, menurun 0,01 poin dibanding tahun sebelumnya. Alhasil, skor IPAK masih belum mencapai target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. BPS juga menemukan bahwa gap antara dimensi persepsi dengan dimensi pengalaman masih lebar. Hal ini menandakan bahwa meski kesadaran masyarakat untuk tidak mewajarkan perilaku korupsi semakin bertambah, tetapi kenyataannya mereka masih harus terlibat dalam tindakan korupsi skala kecil (petty corruption) ketika mengakses layanan publik, salah satunya dengan membayar lebih atau memberi suap kepada petugas pelayanan.

Kolusi

Sejarawan Taufik Abdullah dalam artikel KKN: Sebuah Pendekatan Kultural (Hamid dan Sayuti, 1999) menuturkan, KKN adalah konsep baru dalam konteks negara modern. Khusus kolusi, ia menyebut hal itu sebagai bentuk kerja sama untuk mendapatkan keuntungan yang tak sah dari milik publik atau negara. Paul A. Samuelson (1999) mendefinisikan kolusi sebagai perjanjian di antara beberapa perusahaan untuk bekerja sama dalam menaikkan harga dan membagi pasar yang berakibat pada pembatasan persaingan bebas.

Satu contoh praktik, misalnya, kartel tujuh maskapai penerbangan yang diputuskan bersalah oleh KPPU pada 2020 silam. Untuk menghindari kolusi, setiap pelaku bisnis sepatutnya mengimplementasikan program bisnis berintegritas:

  • Komitmen untuk tidak memberikan uang pelicin, suap-menyuap.
  • Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan.
  • Melaporkan indikasi tindak pidana korupsi; pemerasan, bentuk pungli lainnya yang dilakukan oknum regulator dan penegak hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun