Mohon tunggu...
Eris Putri Syakila
Eris Putri Syakila Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Hobi dengerin musik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Era Joko Widodo

30 Oktober 2024   00:15 Diperbarui: 30 Oktober 2024   00:15 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Nepotisme

Dalam pemerintahan Jokowi, indikasi adanya nepotisme sangat terlihat dalam berbagai manuver politik yang menempatkan anggota keluarganya pada posisi kekuasaan yang strategis. Fenomena yang mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan, di mana keluarga Jokowi dianggap memanfaatkan posisi politiknya untuk memperkuat dinasti politik mereka. Nepotisme dalam hal ini melibatkan pemberian kekuasaan atau jabatan kepada kerabat dekat, bukan berdasarkan kompetensi, melainkan hubungan kekeluargaan. Populisme yang digaungkan oleh Jokowi tampaknya menjadi instrumen untuk menutupi atau melindungi nepotisme tersebut. Dengan membangun citra diri sebagai "pemimpin rakyat kecil", Jokowi berhasil merangkul simpati publik dan mengalihkan perhatian dari tindakan nepotisme yang dilakukan keluarganya. Citra populis yang Jokowi ciptakan melalui retorika "dekat dengan rakyat" berfungsi sebagai kamuflase untuk membentuk citra positif, meskipun realitanya berbeda terhadap kehidupan pribadi dengan narasi populisnya.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Perekat Nusantara, Petrus Selestinus, menyebut aksi Presiden Joko Widodo yang melanggengkan dinasti politik dan nepotisme dalam Pemilu 2024 bertentangan dengan kedauluatan rakyat. Ia melihat dinasti politik dan nepotisme Jokowi secara nyata telah terbukti melalui Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Itu pada akhirnya merusak asas-asas Pemilu yang Luber dan Jurdil.

Pertama, Jokowi dinilai sering berbohong kepada Rakyat tentang netralitas dirinya dan aparaturnya, termasuk perilakunya tidak melibatkan diri dalam persoalan pilihan politik anak-anaknya Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.

Kedua, Jokowi menyatakan presiden boleh ikut berkampanye dan memihak pasangan calon tertentu. Padahal, ketentuan UU Pemilu melarang presiden memihak pasangan calon peserta pemilu.

Ketiga, Jokowi menggunakan iparnya Anwar Usman ketika menjabat sebagai Ketua MK membukakan jalan bagi Gibran menjadi cawapres. Di sini, terjadi pelanggaran terhadap pasal 24 UUD 1944 karena membuat MK kehilangan kemerdekaan dan kemandirian.

Keempat, Petrus mengemukakan Jokowi yang menempatkan anaknya menjadi wali kota Surakarta dan menantunya, Boby Afif Nasution, menjadi Walikota Medan, adalah bagian dari membangun dinasti politik dan nepotisme.

Kelima, Petrus menilai Jokowi sudah tidak punya urat malu karena meskipun telah berkali-kali dikritisi oleh banyak pihak dengan pernyataan yang menistakan, akan tetapi Jokowi tidak pernah merasa dinistakan sedikitpun bahkan menganggap sebagai soal kecil.

Oleh karena itu, untuk Presiden terpilih dan Wakil Presiden terpilih mari selesaikan permasalahan yang sangat disepelekan oleh para pejabat pejabat negara, kami masyarakat sudah percaya penuh maka dari itu tolong jaga kepercayaan kami, mari sama sama berjuang untuk Indonesia Emas 2025.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun