Mohon tunggu...
Erinda Ramadhani Massaid
Erinda Ramadhani Massaid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Mahasiswa Studi Kejepangan Universitas Airlangga. Memiliki ketertarikan dengan budaya Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Unsur Estetika dalam Pandangan Masyarakat Jepang

27 Oktober 2023   12:18 Diperbarui: 27 Oktober 2023   13:17 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenal Istilah Bigaku (美学) dan Mono no Aware (物の哀れ)

Negara Jepang dikenal dengan masyarakatnya yang selalu menjaga unsur keindahan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari cara berpakaian, cara makan, dan bahkan cara memandang sesuatu yang dianggap memiliki unsur keindahan sangatlah berbeda dengan pandangan manusia pada umumnya. Dimana seseorang akan menganggap bahwa sesuatu yang terlihat cantik sudah pasti memiliki unsur estetika yang tinggi namun, tidak dengan orang Jepang yang dapat berpendapat bahwa daun yang berguguran dari pohon lebih memiliki nilai estetika yang tinggi dalam pandangan mereka. Unsur estetika ini dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah bigaku (美学) . Kanji bi (美) dapat diartikan sebagai cantik, atau keindahan, sedangkan gaku (学) memiliki arti belajar atau mempelajari. Jika diartikan bigaku ini adalah sebuah studi untuk mendalami unsur keindahan atau nilai estetika dalam masyarakat Jepang. Menurut Hirayama dan Takashina, unsur keindahan menurut pandangan masyarakat Jepang dikaitkan dengan konsep mono no aware (物の哀れ), yang menganggap bahwa suatu nilai estetika berasal dari perasaan empati atau kesedihan terhadap keindahan alam sekitar yang bersifat sementara. Hal ini berbeda dengan seni Barat yang lebih menganggap sesuatu memiliki nilai estetika dari pemikiran yang logis (Ikeno, 2002). Apakah yang dirasakan masyarakat Jepang dalam memandang dan menilai sesuatu masih tetap sama atau berubah seiring tergerusnya kebudayaan Jepang terhadap arus globalisasi?

Bigaku dalam Dunia Fesyen Jepang

Mulai dari cara berpakaian, sejak zaman dahulu masyarakat Jepang menggunakan pakaian tradisional Jepang yang dikenal dengan kimono (着物). Mereka biasa menggunakan kimono sebagai pakaian formal dalam sebuah acara khusus atau upacara tertentu. Namun setelah Perang Dunia II, negara Jepang benar-benar menerima dan mengadopsi kebudayaan barat. Salah satu contohnya adalah cara berpakaian mereka yang mengikuti orang barat, mulai dari mengenakan celana jin, memakai sepatu, dan bahkan mengenakan t-shirt berserta aksesoris lainnya. Sehingga dewasa ini sangat jarang sekali ditemui masyarakat Jepang yang masih menggunakan kimono dalam kehidupan sehari-hari. Selain dianggap merepotkan karena akan menghambat aktivitas, kimono juga salah satu lambang harga diri dan status seseorang di Jepang. Tidak banyak yang dianggap sombong saat mengenakan kimono karena harganya yang tergolong mahal. Masyarakat Jepang lebih memilih menggunakan youfuku (洋服)  yang memiliki arti pakaian ala barat dalam kehidupan sehari-hari karena sudah memiliki selera yang berbeda dalam berpakaian terutama anak muda zaman sekarang. Eksistensi penggunaan kimono dalam kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat Jepang sangat menurun namun, mereka tetap menjaga budaya tersebut dengan tetap menggunakan kimono dalam acara tertentu seperti upacara kelulusan, atau acara khusus lainnya. Meskipun sudah jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, hal tersebut membuat tidak membuat eksistensi kimono dalam pandangan negara lain padam. Karena kimono dapat dikatakan label dari negara Jepang, jika seseorang berbicara tentang kimono, tentu saja akan teringat dengan Jepang. Bahkan sangat banyak sekali wisatawan asing di Jepang yang mengenakan kimono saat mengunjungi tempat wisata seperti Kuil Kiyomizu atau Asakusa. Akan banyak sekali ditemui persewaan kimono yang ramai didatangi oleh wisatawan asing.

Salah Satu Contoh Ekspresi dari Mono no Aware  

Selain dari unsur fesyen, pandangan masyarakat Jepang dalam menilai keindahan lainnya adalah dalam unsur seni yang dilihat dari konsep mono no aware. Salah satu contoh ekspresi mono no aware yang masih eksis hingga dewasa ini adalah hanami (花見) atau yang memiliki arti melihat bunga sakura. Biasanya kegiatan ini dilakukan pada pertengahan bulan April saat musim semi, dimana kaitan antara mono no aware yang lebih menggambarkan bahwa kehidupan adalah sesuatu yang bersifat sementara dengan bunga sakura yang mekar hanya sebentar kemudian akan gugur dalam waktu yang cukup singkat yaitu kurang lebih selama dua minggu sekali dalam satu tahun. Oleh sebab itu banyak masyarakat Jepang yang masih meneruskan budaya hanami hanya untuk menikmati keindahan bunga sakura yang sedang berguguran. Biasanya masyarakat Jepang melihat bunga sakura yang daunnya sedang berguguran di sebuah taman kota. Mereka bahkan akan mengambil jatah cuti bekerja hanya untuk menikmati pemandangan indah bunga sakura yang sedang berguguran. Hal ini jika dikaitkan dengan konsep mono no aware dapat dikatakan bahwa cara masyarakat Jepang menikmati keindahan atau menganggap sesuatu itu indah berbeda dengan kebudayaan barat. Dalam konsep hanami, dikatakan bahwa masyarakat Jepang lebih menganggap daun yang sedang jatuh berguguran itu indah dan memiliki unsur estetika. Berbeda dengan budaya barat yang kebanyakan dari masyarakatnya akan menganggap bahwa melihat bunga yang sedang bermekaran lebih indah daripada melihat bunga yang jatuh berguguran dari rantingnya. 

Wabi-sabi

Selain mono no aware, contoh lain bigaku adalah wabi-sabi. Wabi-sabi dapat diartikan sebagai menikmati keindahan dalam ketidaksempurnaan dan menghargai sebuah keunikan. Wabi berasal dari bahasa Jepang wabi (侘び) yang memiliki arti rasa yang tenang dan melambangkan kemurnian. Lalu sabi (寂び) yang memiliki arti kesepian dan melambangkan kedamaian (Kempton, 2018). Wabi-sabi ini sering dikaitkan dengan konsep kesederhanaan baik dalam bentuk seni, desain, dan bahkan gaya hidup. Salah satu bentuk wabi-sabi dalam kehidupan masyarakat Jepang adalah upacara minum teh atau yang dikenal dengan sebutan cha no yu (茶の湯). Jika dikaitkan dengan wabi-sabi, upacara minum teh ini sangat menggambarkan ekspresi kedamaian dan juga kegiatan yang benar-benar sederhana. Upacara minum teh di Jepang yang berlangsung secara formal biasanya dapat berlangsung hingga empat jam. Teh yang disajikan adalah teh hijau atau ocha (お茶). Upacara minum teh ini tentu saja masih dilakukan hingga saat ini. Banyak wisatawan asing yang pergi ke prefektur Kyoto hanya untuk mengikuti upacara teh secara informal yang berlangsung selama tiga puluh menit.

Dapat disimpulkan bahwa seni mempelajari keindahan atau bigaku dari sudut pandang masyarakat Jepang sangatlah beragam dan tentu saja mereka memiliki kriteria tersendiri yang berbeda dan menjadi ciri khas negara mereka. Meskipun dewasa ini eksistensi penggunaan kimono sedikit meredup, namun masyarakat asli Jepang sesekali masih menggunakan kimono untuk menghadiri sebuah acara khusus. Meskipun sudah tidak digunakan dalam kegiatan sehari-hari, kehadiran wisatawan asing yang berkunjung di Jepang yang sangat tertarik menggunakan kimono menyebabkan eksistensi penggunaan kimono masih terus berlangsung hingga dewasa ini. Selain nilai estetika dalam hal fesyen, masyarakat Jepang juga masih terus melakukan hal yang mereka anggap memiliki nilai keindahan hingga saat ini. Salah satu contohnya adalah kegiatan hanami yang dilakukan setiap satu tahun sekali yang memiliki filosofi bahwa unsur kecantikan juga dapat ditemukan pada keindahan alam yang bersifat sementara seperti daun sakura yang berguguran. Lalu juga saat proses upacara minum teh atau cha no yu berlangsung, dalam pandangan masyarakat Jepang, upacara ini dianggap memiliki unsur keindahan dalam kesederhanaan dan kedamaian. Oleh sebab itulah budaya di negara Jepang masih terkenal karena mereka menjaga warisan budaya peninggalan nenek moyang mereka pada zaman dahulu hingga dewasa ini. Hingga saat ini Jepang masih menjadi destinasi wisata popular karena budayanya yang dan sudah dikenal oleh berbagai lapisan masyarakat di seluruh dunia.

Referensi

Ikeno, R. J. (2002). THE JAPANESE MIND : Understanding Contemporary Japanese Culture. Tokyo: Tuttle Publishing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun